12 November 2025 lalu, Enal mengawali pertemuan dengan permainan yang diiringi lagu berjudul “Belajar Sama-sama” karya Kepal SPI. Dalam suasana hangat itu Daeng Dinging merefleksikan sepenggal lirik “semua orang itu guru” sebagai semangat kesetaraan. Menurutnya, “tidak ada murid, tidak ada yang digurui— semua hadir di sini untuk belajar bersama dan bekerja bersama”. Ungkapan itu menjadi pembuka pertemuan.
Proses pertemuan dua organisasi Passe’reanta dan Sikatutui juga melibatkan anak muda, pemerintah desa dan pegiat Cita Tanah Mahardika sebagai partisipan dengan jumlah keseluruhan 28 orang. Kegiatan ini dilaksanakan di aula kantor Desa Mattiro Baji, Kec. Kepulauan Tanakeke, Kab. Takalar yang berlangsung selama tiga jam lebih.
Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka berbagi pengalaman perkembangan usaha dan kebun pekarangan, sembari mendiskusikan peluang kolaborasi sebagai upaya mendukung peningkatan usaha dan menjaga hubungan dua organisasi di Pulau Satangnga dan Bauluang. Hal ini diharapkan dapat berdampak pada peningkatan kapasitas individu dan keberlanjutan organisasi, dan jangka panjang dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dalam pembangunan di tingkat lokal.
Selain itu, mereka juga merefleksikan pelajaran penting dan perasaan terkait program Regranting AYNI FIMI, program dukungan yang difasilitasi Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), organisasi yang bertujuan menguatkan perempuan dalam mengorganisir diri, pengetahuan, dan hak-hak sebagai perempuan adat.
Tujuan dukungan tersebut tergambar dari kata AYNI yang berasal dari bahasa Quechua/Kichua, bahasa masyarakat adat di Andes yang bermakna timbal balik kesetaraan dan keadilan, sedangkan FIMI adalah singkatan dari Bahasa Spanyol Foro Internacional de Mujeres Indigenas, atau dalam Bahasa Inggris disebut International Indigenous Women’s Forum (Forum Internasional Perempuan Adat). Program yang bertujuan memobilisasi sumber daya manusia dan keuangan untuk penguatan kapasitas organisasi perempuan adat dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Refleksi Perkembangan Usaha: Berbagi Pengalaman, Keberhasilan dan Tantangan
Di hadapan partisipan, Deni selaku fasilitator menggunakan sebuah alat bantu refleksi yang disebut sungai perjalanan organisasi. Metode ini digunakan untuk menelusuri kembali pengalaman kelompok dalam mengembangkan usaha dan kebun pekarangan. Dalam skema tersebut, arus sungai digambarkan sebagai capaian yang sudah diraih, anak sungai sebagai strategi yang membuat aktivitas bisa berjalan, sementara bebatuan menjadi simbol tantangan yang harus mereka hadapi.

Melalui alat bantu tersebut, anggota Passe’reanta mulai mengurai sekaligus merefleksikan kembali perjalanan mereka. Satu per satu keberhasilan dituliskan, terutama pada kerja-kerja produksi: VCO, keripik sukun, hingga Salonde—tiga produk olahan yang kini mereka rasakan semakin berkembang. Mereka juga menyinggung kemajuan kebun pekarangan, yang sudah memberi tambahan pendapatan bagi anggota meskipun masih terhitung kecil.
Namun di balik deretan capaian itu, kelompok tak menutup mata terhadap tantangan yang mereka hadapi. Di tengah-tengah obrolan, beberapa anggota menyebut persoalan bahan baku untuk produksi yang jumlahnya kerap terbatas di pulau, cuaca yang tak menentu, kesulitan membagi waktu, hingga akses internet yang lemah saat mereka mencoba memasarkan produk secara online. Meski begitu, mereka tetap berupaya memanfaatkan kekuatan yang tersedia dengan membangun keberanian, kekompakan, dan kerja sama dengan organisasi lain sebagai kunci untuk keluar dari situasi tersebut.
Dalam sesi refleksi, anggota juga saling bertukar pengalaman tentang bagaimana menghadapi dan menyelesaikan hambatan-hambatan itu. Pembagian waktu menjadi tantangan yang paling sering dihadapi. Jadwal produksi sebenarnya sudah disusun, tetapi kesibukan masing-masing anggota kerap menggeser rencana. Namun, kondisi itu dapat diterima bersama; mereka saling memahami beban satu sama lain, dan dari sanalah rasa saling menghargai tumbuh.
Ungkapan Daeng Lele menjelaskan situasi itu dengan jelas. “Pada saat mengalami kondisi seperti itu, biasanya kami bilang tidak apa-apa nanti kami saja yang memproduksi yang bisa. Itulah kekompakan kami di dalam kelompok yakni saling menghargai dan saling pengertian”, ujarnya.
Di sesi berikutnya, giliran organisasi Sikatutui memaparkan pencapaiannya. Mereka menuturkan bahwa keberhasilan yang dirasakan saat ini sudah mulai terlihat bahkan sejak sebelum Sikatutui resmi berdiri. Selama setahun berjalan sebagai kelompok, mereka telah mengembangkan kebun pekarangan yang hingga saat ini dimanfaatkan oleh banyak warga, serta mempelajari proses pembuatan keripik kerang dan VCO. Bagi mereka, capaian itu sekaligus menjadi sumber kebahagiaan—terutama karena keberadaan Sikatutui menghadirkan arah kegiatan yang jelas dan menjadi ruang yang membuat mereka memiliki alasan untuk kembali berkumpul.

Namun, sebagai organisasi yang baru berkembang, kelompok ini juga tidak lepas dari tantangan. Di kebun pekarangan, beberapa pegiat masih mengeluhkan ketergantungan pada satu atau dua orang untuk merawat dan mengurus lahan. Sementara pada usaha keripik kerang, pemasaran masih terbatas di lingkup Pulau Bauluang, dan mereka mulai menyadari pentingnya memperluas pasar serta melengkapi administrasi produk agar bisa melangkah lebih jauh.
Di tengah berbagai persoalan itu, anggota Sikatutui melihat kekuatan yang mereka miliki: kemauan yang sama untuk bergerak dan inisiatif untuk tetap mengajak satu sama lain untuk berkumpul. Marwah, salah satu pegiat organisasi Sikatutui, menjelaskan bahwa keberhasilan kebun pekarangan sangat bergantung pada dorongan yang berangkat dari kebiasaan masyarakat di Pulau Bauluang. Terutama ketika memasuki musim hujan sebagai masa tanam, tadah air hujan untuk lahan persawahan mereka dipraktikkan terus menerus dari bekal pengalaman dan pengetahuan masyarakat setempat.
Dalam sesi refleksi bersama, kedua organisasi tampak saling belajar dari pengalaman masing-masing. Diskusi berlangsung terbuka; beberapa anggota menyimak bagaimana kelompok lain menghadapi hambatan dan menata langkah. Marwah dari Sikatutui menegaskan bahwa sebagai organisasi yang masih baru di Pulau Bauluang, mereka perlu mendengar pengalaman Passe’reanta—terutama soal kelengkapan administrasi produk. Ia menilai proses Passe’reanta yang menempuh tantangan sedikit demi sedikit bisa menjadi pintu penting bagi Sikatutui dalam membangun dasar administrasi usahanya.
Di sisi lain, Passe’reanta juga memberi kekuatan dan semangat bagi Sikatutui. Ajakan untuk menumbuhkan keberanian berulang kali muncul dalam percakapan. Hal itu disampaikan jelas oleh Daeng Sugi yang mengenang proses mereka sendiri. “Pada awalnya kami juga merasa takut, takut menghadapi pemerintah, namun seiring berjalannya waktu keberanian itu mulai tumbuh bahkan kami juga sudah dilibatkan di dalam kegiatan-kegiatan Musrembang Desa” ujarnya. Pernyataan itu menjadi penutup sesi refleksi saat itu.
Passe’reanta dan Sikatutui Menjajaki Peluang Kerja Sama
Dua komunitas kembali melihat rencana strategis satu tahun yang telah disusun, kedua komunitas tampak mencermati peluang kolaborasi yang bisa mereka bangun bersama, terutama pada tantangan yang kerap kali dihadapi. Hal ini tergambar dari ungkapan Daeng Sugi:
“Pintu selalu terbuka untuk semua. Dan Semoga ke depannya bisa bekerja sama terutama pemenuhan bahan untuk produksi seperti kelapa, dan kami juga berharap akan adanya pendampingan atau pembelajaran pengelolaan kebun pekarangan dari Sikatutui agar kebun kami juga bisa berhasil”.
Keberadaan Sikatutui di Pulau Bauluang memang dianggap menghadirkan peluang baru—khususnya terkait penyediaan kelapa yang dapat menunjang proses produksi Passe’reanta. Selain itu, pengalaman Sikatutui dalam mengelola kebun pekarangan dinilai penting untuk membantu pengembangan kebun milik Passe’reanta di Pulau Satangnga.

Merespons hal tersebut, Marwah menyampaikan tantangan yang dihadapi Sikatutui dalam proses produksi, misalnya aroma amis pada keripik kerang. Sebagai organisasi yang masih bertumbuh, mereka sedang mencari cara mengatasinya dan melihat Passe’reanta sebagai kelompok yang sudah lebih berpengalaman. Ia bahkan membuka kemungkinan ibu-ibu Passe’reanta dapat mengambil peran menjadi pendamping kualitas bagi produk Sikatutui.
Masukan lain datang dari Daeng Lele yang menekankan pentingnya saling merekomendasikan produk. Ia mencontohkan, ketika stok VCO di Passe’reanta habis, kedua kelompok bisa saling mengabari atau merekomendasikan produk yang diproduksi oleh masing-masing organisasi. Menurutnya, cara ini dapat menjaga ketersediaan produk hingga dapat memenuhi setiap permintaan, sekaligus mendukung perkembangan kedua kelompok di dua pulau.
Rencana kerja sama juga disampaikan oleh Daeng Dinging, terutama terkait pengelolaan kebun pekarangan yang kini berjalan di masing-masing pulau. Ia menyarankan agar kedua organisasi berbagi bibit atau kebutuhan lain yang bisa memperkuat kegiatan berkebun. “Kalau misalkan bibit kita kurang kita bisa saling kerja sama, contohnya kalau kita sudah menanam di Satangnga dan bibit sudah habis sementara banyak ji di Bauluang, bisa saling berbagi,” ujarnya.
Rangkaian usulan tersebut membentuk gambaran kerja sama yang lebih terarah. Harapannya, kolaborasi antara dua organisasi ini tak hanya memperkuat hubungan antar-pulau, tetapi juga meningkatkan pendapatan serta menjamin keberlanjutan organisasi di masa mendatang.
Refleksi Dukungan Program Regranting AYNI FIMI PEREMPUAN AMAN
Memasuki bagian akhir kegiatan, Amel selaku fasilitator membuka ruang bagi para partisipan untuk menyampaikan refleksi dan harapan. Ia meminta mereka kembali pada pengalaman pribadi dan pengalaman organisasi selama menerima dukungan Regranting AYNI FIMI yang difasilitasi PEREMPUAN AMAN—bagaimana proses itu dirasakan, serta pelajaran apa yang ditemui oleh setiap organisasi.
Daeng Sugi menjadi salah satu yang pertama berbicara. Dengan senyum terbuka, ia mengaku sangat bahagia. Dukungan tersebut, katanya, membuatnya lebih bersemangat mendorong perkembangan usaha kelompok, baik dalam pengadaan alat berkebun maupun alat produksi. Ia berharap apa yang sudah dimiliki kini dapat bertambah, “dari satu menjadi dua,” ujarnya.
Dari kelompok Sikatutui, Marwah—perempuan muda yang sejak awal aktif dalam organisasi—menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tak menyangka kelompok yang masih baru bisa memperoleh dukungan untuk melengkapi berbagai kebutuhan dasar organisasi. Baginya, ini adalah amanah yang harus dijaga dan dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Daeng Dinging juga menyampaikan apresiasi serupa kepada PEREMPUAN AMAN. Ia berharap dukungan ini menjadi momentum bagi Passe’reanta untuk bangkit dan terus berkembang, terutama mewariskannya kepada generasi muda. Untuk itu perlu mengelola aset agar bertahan ke depannya.
Menjelang penutupan, Daeng Lele memberikan catatan reflektif yang cukup penting sebagai pelajaran bagi organisasi ke depan. Dengan nada pelan, ia membedakan makna bantuan dan dukungan. “Kalau bantuan biasa berbentuk uang yang langsung diterima dan kalau dukungan itu sifatnya mendukung kelompok, mendukung produk kelompok, serta kegiatan-kegiatan yang dikerjakan oleh kelompok”. jelasnya.
Ia berharap Passe’reanta dapat menjaga amanah itu dan mengikuti jejak PEREMPUAN AMAN dalam membangun organisasi, terutama di tengah peran perempuan yang semakin besar di kampung. Menurutnya, perempuan yang dulu lebih sering berada di rumah kini sudah mulai memiliki ruang yang setara dengan laki-laki, bahkan mampu membimbing komunitas. Ia menutup dengan sebuah harapan sederhana: semoga produk dan penghasilan mereka terus bertambah di masa depan.
Tulisan ini dikolaborasikan bersama pegiat CTM lainnya, Saleh.
***






