Kamis, 28 Agustus 2025
No Result
View All Result
Cita Tanah Mahardika
  • Home
  • Cerita dari Kampung
  • Kajian
  • Aktivitas
    • Pendidikan Kritis
    • Pengorganisasian
    • Riset
      • Analisis
      • Publikasi
  • Produk Komunitas
  • About Us
  • Contact Us
  • Login
en English id Indonesian
No Result
View All Result
  • Home
  • Cerita dari Kampung
  • Kajian
  • Aktivitas
    • Pendidikan Kritis
    • Pengorganisasian
    • Riset
      • Analisis
      • Publikasi
  • Produk Komunitas
  • About Us
  • Contact Us
  • Login
Cita Tanah Mahardika
  • Reportase
Pertengahan Tahun, CTM Perlu Berhenti Sejenak untuk Menatap ke Depan
  • Penulis:
  • Suherman
  • -  11 Agustus 2025
Whatsapp Image 2025 08 11 At 21 13

Suasana refleksi tengah tahunan CTM, Saenal sedang melakukan centering dengan membaca puisi (Suherman, 2025)

Dibaca Normal 5 menit
A A
Print Friendly, PDF & Email

28 Juli, Senin malam, Saenal Supandi tengah membacakan sajaknya. Diiringi nada gitar yang dipetik Tiro, sepenggal baitnya ia utarakan: “pertemuan tidaklah sia-sia…”. Momen yang disambut tepuk tangan dan penuh senyum itu sekaligus membuka suatu pertemuan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Cita Tanah Mahardika (CTM) pada pertengahan tahun ini.

Pertemuan ini melibatkan Badan Pengurus, Dewan Pengawas, dan Badan Eksekutif yang berlangsung selama tiga hari pada akhir bulan lalu, yakni tanggal 28 – 30 Juli 2025. Kegiatan ini diselenggarakan di Homestay Salekoa-House, Minasa Upa, Makassar.

Pertemuan ini mendiskusikan beberapa hal, di antaranya adalah pengelolaan keuangan organisasi dan pentingnya dukungan untuk kegiatan internal; refleksi perkembangan organisasi melalui aktivitas program maupun aktivitas non-program; pentingnya visi dan tujuan untuk merefleksikan dampak aktivitas bersama komunitas; merefleksikan struktur organisasi dan peran-peran pegiat; hingga mengecek kembali mekanisme, alur kerja dan budaya belajar para pegiat di paruh pertama tahun ini.

Kegiatan ini didasari pada kebutuhan pegiat CTM pada awal tahun ini agar terdapat sesi refleksi mendalam yang melibatkan Badan Pengurus dan Dewan Pengawas setidak-tidaknya dua kali dalam setahun. Pada dasarnya pertemuan tengah tahun ini diadakan untuk merefleksikan secara internal apa yang telah tumbuh dan belum, baik secara personal maupun kolektif, serta menemukan solusi bersama untuk menangani persoalan yang dihadapi sejauh ini dan tantangan-tantangan di masa depan.

Memikirkan Kembali Dampak yang Ingin Dicapai

Salah satu topik penting yang dibahas pada pertemuan ini adalah perlunya mengecek dampak yang dihasilkan dari kehadiran para pegiat di komunitas dan kampung.

Para pegiat, board dan pengawas merefleksikan bahwa kehadiran CTM sebaiknya tidak terbatas hanya pada urusan-urusan mikro semata, namun penting untuk tetap melihat tujuan atau visi jangka panjang yang ada di baliknya. Terutama yang terkait dengan visi organisasi-organisasi rakyat di Kepulauan Tanakeke, khususnya di Pulau satangnga yang mulai menyoroti persoalan sosial-lingkungan yang dihadapinya, juga terkait rencana-rencana komunitas di Pulau Bauluang.

Untuk memproses hal ini, Dian Yanuardy dan Wahyudin Nur bertindak sebagai fasilitator. Partisipan pertemuan, terutama pegiat eksekutif, dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan dampak yang ingin dicapai dan dilihat dalam enam bulan ke depan, baik itu di kampung maupun di CTM itu sendiri sebagai suatu organisasi. Termasuk di dalamnya syarat-syarat yang mesti ada untuk mencapainya.

Pegiat kemudian mendiskusikan dampak-dampak yang terukur, yang sifatnya kuantitas dan dapat dilihat, maupun yang tidak terukur, yang sifatnya kualitas. Apa yang ingin dilihat dalam enam bulan ke depan mesti mencerminkan tahapan untuk dampak jangka panjang. Beberapa dampak yang diharapkan di Pulau Satangnga adalah meluasnya keterlibatan pemuda dalam agenda belajar tentang lingkungan. Di sisi lain, Jagad Samudera diharapakan dapat memulai kembali putaran belajarnya terkait lingkungan, dan organisasi perempuan Passe’reanta bisa menuai hasil produksi yang mampu menguatkan ekonomi rumah tangga para pegiatnya.

Sementara di Pulau Bauluang, salah satu dampak yang ingin dilihat adalah kelompok dapat menjadi ruang untuk menjalin relasi antar orang, termasuk mendialogkan persoalan yang dihadapi untuk dibahas dan diurus secara bersama. Diharapkan juga kelompok dapat berfungsi sebagai ruang aman bagi pegiatnya untuk tumbuh dan memiliki kepercayaan diri dalam menyalurkan ide, mengambil keputusan, dan mengelola kelompoknya. Ada satu catatan saat mendiskusikan ini, menurut Imamul Hak, Direktur Eksekutif CTM, sebaiknya kelompok atau organisasi ke depan tidak menimbulkan kesan yang membatasi keterlibatan individu atau warga lain di dalamnya. “Ini adalah tantangannya ke depan, bagaimana agar organisasi yang terbentuk itu tidak mengeksklusi,” ungkapnya.

Bagi CTM sendiri, beberapa dampak yang diharapkan adalah terciptanya ruang aman dan nyaman dalam proses belajar dan bekerja. Termasuk mulai memikirkan adanya prosedur baku dalam bentuk SOP untuk mengantisipasi dan menangani pelecehan seksual (TKPS). Selain itu, dalam enam bulan ke depan, CTM diharapkan sudah memproduksi satu Baseline Study tentang kondisi sosial-ekologi di Pulau Satangnga yang diolah dari proses belajar, studi meja, studi lapang atau penelitian partisipatif bersama komunitas.

Sementara pegiat CTM yang mencurahkan energinya untuk mempelajari pendekatan organik dalam berkebun mengharapkan beragam dampak, beberapa di antaranya adalah mendialogkan bersama komunitas pentingnya kebun pekarangan dikelola secara organik. Dengan begitu, ke depannya komunitas mulai dapat mengelola beberapa jenis tanaman pangan yang berkelanjutan sehingga tidak bergantung lagi sepenuhnya dengan bibit maupun sayuran pangan dari luar.

Whatsapp Image 2025 08 11 At 21 13
Irwan sedang mempresentasikan dampak yang ingin dicapai dalam pengelolaan ‘Kebun Bersama’ (Suherman, 2025)

“Praktik kebun pekarangan bukan hanya suatu tindakan yang dapat dilihat dari segi penurunan pengeluaran konsumsi harian rumah tangga di kampung. Tetapi, kebun pekarangan dapat menjadi pintu masuk CTM dan komunitas untuk melihat situasi krisis yang sedang atau tengah terjadi di area darat pulau dan bagaimana praktik pemulihannya,” ungkap Dian Yanuardy pada sesi tersebut.

Sementara Asma Luthfi, salah satu board CTM, juga merespon bagaimana pengelolaan kebun pekarangan dijalankan oleh komunitas. Ia mengingatkan bahwa “posisi pegiat CTM bukanlah dokter”, penting agar tidak menyebabkan satu bentuk ketergantungan baru bagi komunitas, misalnya ketergantungan pada bibit di luar kampung, maupun ketergantungan secara teknis pengelolaan pada pegiat CTM.

Kemudian, ke depannya penting memikirkan bersama komunitas bagaimana proses demokratisasi bisa berjalan di kampung. Atau bagaimana komunitas dapat mengorganisir diri dan saling bekerja sama hingga mampu menegosiasikan hak-haknya atas tanah dan laut, juga dalam hal pengambilan keputusan bersama untuk kelangsungan hidup di pulau atau ruang hidupnya.

Itu berarti para pegiat mesti peka bahwa persoalan yang dihadapi bersama komunitas adalah persoalan struktural. Maka penting untuk menguatkan kapasitas secara individual dan kolektif untuk menemukan proses bekerja dan belajar yang dapat mendukung upaya ini ke depan.

Menumbuhkan Proses Belajar Personal dan Kolektif

Beberapa pegiat merefleksikan bahwa budaya belajar di internal belum cukup solid meski sudah mengupayakannya. Muhammad Riski, atau pemuda yang sering disapa Yoyo ini menganggap bahwa, “agenda belajar personal para pegiat CTM sejauh ini seperti terpisah-pisah satu sama lain”, sehingga agenda belajar bersama belum cukup berjalan baik. Menyajikan hasil belajar personal dalam bentuk diskusi bersama dianggap belum cukup intens dilakukan untuk mendalami suatu tema belajar tertentu.

Akibatnya, budaya belajar menjadi sangat personal. Salah satu alasannya adalah, belum adanya mekanisme yang sifatnya jadi panduan belajar bersama. Berangkat dari refleksi tersebut, para pegiat menyepakati bahwa dibutuhkan satu silabus belajar. Sederhananya, semacam panduan konsep dan praktik yang menghubungkan agenda belajar personal, kolektif, dan tema-tema belajar atau isu yang muncul di komunitas atau kampung.

Sebelumnya, dalam satu sesi para pegiat mendiskusikan pentingnya menentukan satu tujuan jangka panjang yang akan memandu proses belajar bersama. Dengan begitu, arah belajar menjadi kian jelas dan akan sangat membantu dalam menentukan cara pegiat bekerja dan berelasi dengan komunitas, organisasi dan mitra belajar lainnya.

Berangkat dari tema-tema generatif yang bermunculan di kampung dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan adanya beragam persoalan yang menyentuh aspek sosial-lingkungan, maupun sosial-ekonomi. Maka penting bagi pegiat untuk mengenali lebih dekat persoalan-persoalan sosial-ekologi dalam konteks pesisir dan pulau-pulau kecil, krisis-krisis apa saja yang dimunculkannya dan berdampak dalam hal apa saja, hingga pengetahuan dan cara-cara alternatif apa saja yang perlu dipelajari bersama komunitas untuk pembalikannya.

Untuk menuju ke sana, ada beberapa prinsip dasar yang mesti dipegang bersama. Pertama-tama, memahami jika perubahan mendasar adalah adanya perubahan pada aspek sosial-ekonomi dan ekologi. Dalam prosesnya, komunitas mesti menjadi pelaku utama perubahan itu sendiri, sementara CTM adalah rekan belajar yang bekerja untuk mendukung perubahan. Kemudian, proses dialoglah yang menjadi pendekatan utamanya. Lalu yang juga menjadi catatan penting adalah pentingnya refleksi yang terus-menerus bersama komunitas agar dapat tumbuh bersama, memunculkan kreativitas dan energi perubahan.

Evaluasi yang Reflektif dan Beberapa Aturan Main yang Dibutuhkan

Sementara itu, dalam menunjang kapasitas dan kinerja personal dalam organisasi, salah satu mekanisme yang diperlukan adalah evaluasi yang sifatnya lebih reflektif. Cara yang dimaksud adalah journaling. Ketua Badan Pengurus CTM, Wahyudin Nur mengatakan bahwa cara ini masih sangat relevan dan penting bagi tiap personal untuk meninjau perkembangan personal, sekaligus melihat ulang apa yang belum tumbuh dan kemudian merefleksikannya.

Mekanisme ini pun ke depannya juga tetap terbuka untuk direfleksikan kembali, apakah akan terus digunakan, membutuhkan penyesuaian atau perubahan. Menurutnya, ini sebaiknya tetap menjadi semacam rutinitas individu dalam fase-fase perkembangan personal dan organisasi. Para pegiat pun bersepakat untuk menerapkannya dengan pendekatan dan cara masing-masing.

Di sisi lain, untuk perkembangan organisasi, ada beberapa aturan main yang diperlukan. Bagi Laura Resti, Dewan Pengawas CTM, sebagai sebuah perkumpulan perlu melakukan berbagai penyesuaian atau menyusun prosedur yang dibutuhkan. Salah satu yang sempat disinggungnya adalah pentingnya prosedur keselamatan kerja. Dengan situasi saat ini, organisasi bisa mempertimbangkan ke depan untuk mengakses asuransi perjalanan yang cukup fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta kemampuan organisasi saat ini. Hal ini penting sebagai prosedur perlindungan bagi para pegiat dalam beraktivitas.

Pertemuan antara board, pengawas, dan pegiat eksekutif ini pada akhirnya melahirkan beberapa rekomendasi yang sifatnya substansial untuk menghadirkan dampak yang berarti bagi CTM dan komunitas, maupun yang sifatnya administratif berupa penyusunan SOP-SOP yang diperlukan dalam pengelolaan organisasi dan akan membantu dalam banyak hal, terutama dalam pengambilan-pengambilan keputusan ke depannya.

 

 

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Suherman
  • atau artikel terkait
  • Reportase
  • (citatanahmahardika.org)
Tag RefleksiReportase
Sebelumnya

Langkah Kecil untuk Perubahan: Dari Hasil Laut yang Berkurang hingga Tumbuhnya Inisiatif Bersama

Berikutnya

Upaya Pengembangan Usaha Komunitas: Proses Berbagi Pengalaman Belajar Inkubasi Bisnis Bersama Passe’reanta

  • Reportase

Pertengahan Tahun, CTM Perlu Berhenti Sejenak untuk Menatap ke Depan

  • Penulis:
  • Suherman
  • -  11 Agustus 2025
Whatsapp Image 2025 08 11 At 21 13

Suasana refleksi tengah tahunan CTM, Saenal sedang melakukan centering dengan membaca puisi (Suherman, 2025)

Dibaca Normal 5 menit
A A

28 Juli, Senin malam, Saenal Supandi tengah membacakan sajaknya. Diiringi nada gitar yang dipetik Tiro, sepenggal baitnya ia utarakan: “pertemuan tidaklah sia-sia…”. Momen yang disambut tepuk tangan dan penuh senyum itu sekaligus membuka suatu pertemuan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Cita Tanah Mahardika (CTM) pada pertengahan tahun ini.

Pertemuan ini melibatkan Badan Pengurus, Dewan Pengawas, dan Badan Eksekutif yang berlangsung selama tiga hari pada akhir bulan lalu, yakni tanggal 28 – 30 Juli 2025. Kegiatan ini diselenggarakan di Homestay Salekoa-House, Minasa Upa, Makassar.

Pertemuan ini mendiskusikan beberapa hal, di antaranya adalah pengelolaan keuangan organisasi dan pentingnya dukungan untuk kegiatan internal; refleksi perkembangan organisasi melalui aktivitas program maupun aktivitas non-program; pentingnya visi dan tujuan untuk merefleksikan dampak aktivitas bersama komunitas; merefleksikan struktur organisasi dan peran-peran pegiat; hingga mengecek kembali mekanisme, alur kerja dan budaya belajar para pegiat di paruh pertama tahun ini.

Kegiatan ini didasari pada kebutuhan pegiat CTM pada awal tahun ini agar terdapat sesi refleksi mendalam yang melibatkan Badan Pengurus dan Dewan Pengawas setidak-tidaknya dua kali dalam setahun. Pada dasarnya pertemuan tengah tahun ini diadakan untuk merefleksikan secara internal apa yang telah tumbuh dan belum, baik secara personal maupun kolektif, serta menemukan solusi bersama untuk menangani persoalan yang dihadapi sejauh ini dan tantangan-tantangan di masa depan.

Memikirkan Kembali Dampak yang Ingin Dicapai

Salah satu topik penting yang dibahas pada pertemuan ini adalah perlunya mengecek dampak yang dihasilkan dari kehadiran para pegiat di komunitas dan kampung.

Para pegiat, board dan pengawas merefleksikan bahwa kehadiran CTM sebaiknya tidak terbatas hanya pada urusan-urusan mikro semata, namun penting untuk tetap melihat tujuan atau visi jangka panjang yang ada di baliknya. Terutama yang terkait dengan visi organisasi-organisasi rakyat di Kepulauan Tanakeke, khususnya di Pulau satangnga yang mulai menyoroti persoalan sosial-lingkungan yang dihadapinya, juga terkait rencana-rencana komunitas di Pulau Bauluang.

Untuk memproses hal ini, Dian Yanuardy dan Wahyudin Nur bertindak sebagai fasilitator. Partisipan pertemuan, terutama pegiat eksekutif, dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan dampak yang ingin dicapai dan dilihat dalam enam bulan ke depan, baik itu di kampung maupun di CTM itu sendiri sebagai suatu organisasi. Termasuk di dalamnya syarat-syarat yang mesti ada untuk mencapainya.

Pegiat kemudian mendiskusikan dampak-dampak yang terukur, yang sifatnya kuantitas dan dapat dilihat, maupun yang tidak terukur, yang sifatnya kualitas. Apa yang ingin dilihat dalam enam bulan ke depan mesti mencerminkan tahapan untuk dampak jangka panjang. Beberapa dampak yang diharapkan di Pulau Satangnga adalah meluasnya keterlibatan pemuda dalam agenda belajar tentang lingkungan. Di sisi lain, Jagad Samudera diharapakan dapat memulai kembali putaran belajarnya terkait lingkungan, dan organisasi perempuan Passe’reanta bisa menuai hasil produksi yang mampu menguatkan ekonomi rumah tangga para pegiatnya.

Sementara di Pulau Bauluang, salah satu dampak yang ingin dilihat adalah kelompok dapat menjadi ruang untuk menjalin relasi antar orang, termasuk mendialogkan persoalan yang dihadapi untuk dibahas dan diurus secara bersama. Diharapkan juga kelompok dapat berfungsi sebagai ruang aman bagi pegiatnya untuk tumbuh dan memiliki kepercayaan diri dalam menyalurkan ide, mengambil keputusan, dan mengelola kelompoknya. Ada satu catatan saat mendiskusikan ini, menurut Imamul Hak, Direktur Eksekutif CTM, sebaiknya kelompok atau organisasi ke depan tidak menimbulkan kesan yang membatasi keterlibatan individu atau warga lain di dalamnya. “Ini adalah tantangannya ke depan, bagaimana agar organisasi yang terbentuk itu tidak mengeksklusi,” ungkapnya.

Bagi CTM sendiri, beberapa dampak yang diharapkan adalah terciptanya ruang aman dan nyaman dalam proses belajar dan bekerja. Termasuk mulai memikirkan adanya prosedur baku dalam bentuk SOP untuk mengantisipasi dan menangani pelecehan seksual (TKPS). Selain itu, dalam enam bulan ke depan, CTM diharapkan sudah memproduksi satu Baseline Study tentang kondisi sosial-ekologi di Pulau Satangnga yang diolah dari proses belajar, studi meja, studi lapang atau penelitian partisipatif bersama komunitas.

Sementara pegiat CTM yang mencurahkan energinya untuk mempelajari pendekatan organik dalam berkebun mengharapkan beragam dampak, beberapa di antaranya adalah mendialogkan bersama komunitas pentingnya kebun pekarangan dikelola secara organik. Dengan begitu, ke depannya komunitas mulai dapat mengelola beberapa jenis tanaman pangan yang berkelanjutan sehingga tidak bergantung lagi sepenuhnya dengan bibit maupun sayuran pangan dari luar.

Whatsapp Image 2025 08 11 At 21 13
Irwan sedang mempresentasikan dampak yang ingin dicapai dalam pengelolaan ‘Kebun Bersama’ (Suherman, 2025)

“Praktik kebun pekarangan bukan hanya suatu tindakan yang dapat dilihat dari segi penurunan pengeluaran konsumsi harian rumah tangga di kampung. Tetapi, kebun pekarangan dapat menjadi pintu masuk CTM dan komunitas untuk melihat situasi krisis yang sedang atau tengah terjadi di area darat pulau dan bagaimana praktik pemulihannya,” ungkap Dian Yanuardy pada sesi tersebut.

Sementara Asma Luthfi, salah satu board CTM, juga merespon bagaimana pengelolaan kebun pekarangan dijalankan oleh komunitas. Ia mengingatkan bahwa “posisi pegiat CTM bukanlah dokter”, penting agar tidak menyebabkan satu bentuk ketergantungan baru bagi komunitas, misalnya ketergantungan pada bibit di luar kampung, maupun ketergantungan secara teknis pengelolaan pada pegiat CTM.

Kemudian, ke depannya penting memikirkan bersama komunitas bagaimana proses demokratisasi bisa berjalan di kampung. Atau bagaimana komunitas dapat mengorganisir diri dan saling bekerja sama hingga mampu menegosiasikan hak-haknya atas tanah dan laut, juga dalam hal pengambilan keputusan bersama untuk kelangsungan hidup di pulau atau ruang hidupnya.

Itu berarti para pegiat mesti peka bahwa persoalan yang dihadapi bersama komunitas adalah persoalan struktural. Maka penting untuk menguatkan kapasitas secara individual dan kolektif untuk menemukan proses bekerja dan belajar yang dapat mendukung upaya ini ke depan.

Menumbuhkan Proses Belajar Personal dan Kolektif

Beberapa pegiat merefleksikan bahwa budaya belajar di internal belum cukup solid meski sudah mengupayakannya. Muhammad Riski, atau pemuda yang sering disapa Yoyo ini menganggap bahwa, “agenda belajar personal para pegiat CTM sejauh ini seperti terpisah-pisah satu sama lain”, sehingga agenda belajar bersama belum cukup berjalan baik. Menyajikan hasil belajar personal dalam bentuk diskusi bersama dianggap belum cukup intens dilakukan untuk mendalami suatu tema belajar tertentu.

Akibatnya, budaya belajar menjadi sangat personal. Salah satu alasannya adalah, belum adanya mekanisme yang sifatnya jadi panduan belajar bersama. Berangkat dari refleksi tersebut, para pegiat menyepakati bahwa dibutuhkan satu silabus belajar. Sederhananya, semacam panduan konsep dan praktik yang menghubungkan agenda belajar personal, kolektif, dan tema-tema belajar atau isu yang muncul di komunitas atau kampung.

Sebelumnya, dalam satu sesi para pegiat mendiskusikan pentingnya menentukan satu tujuan jangka panjang yang akan memandu proses belajar bersama. Dengan begitu, arah belajar menjadi kian jelas dan akan sangat membantu dalam menentukan cara pegiat bekerja dan berelasi dengan komunitas, organisasi dan mitra belajar lainnya.

Berangkat dari tema-tema generatif yang bermunculan di kampung dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan adanya beragam persoalan yang menyentuh aspek sosial-lingkungan, maupun sosial-ekonomi. Maka penting bagi pegiat untuk mengenali lebih dekat persoalan-persoalan sosial-ekologi dalam konteks pesisir dan pulau-pulau kecil, krisis-krisis apa saja yang dimunculkannya dan berdampak dalam hal apa saja, hingga pengetahuan dan cara-cara alternatif apa saja yang perlu dipelajari bersama komunitas untuk pembalikannya.

Untuk menuju ke sana, ada beberapa prinsip dasar yang mesti dipegang bersama. Pertama-tama, memahami jika perubahan mendasar adalah adanya perubahan pada aspek sosial-ekonomi dan ekologi. Dalam prosesnya, komunitas mesti menjadi pelaku utama perubahan itu sendiri, sementara CTM adalah rekan belajar yang bekerja untuk mendukung perubahan. Kemudian, proses dialoglah yang menjadi pendekatan utamanya. Lalu yang juga menjadi catatan penting adalah pentingnya refleksi yang terus-menerus bersama komunitas agar dapat tumbuh bersama, memunculkan kreativitas dan energi perubahan.

Evaluasi yang Reflektif dan Beberapa Aturan Main yang Dibutuhkan

Sementara itu, dalam menunjang kapasitas dan kinerja personal dalam organisasi, salah satu mekanisme yang diperlukan adalah evaluasi yang sifatnya lebih reflektif. Cara yang dimaksud adalah journaling. Ketua Badan Pengurus CTM, Wahyudin Nur mengatakan bahwa cara ini masih sangat relevan dan penting bagi tiap personal untuk meninjau perkembangan personal, sekaligus melihat ulang apa yang belum tumbuh dan kemudian merefleksikannya.

Mekanisme ini pun ke depannya juga tetap terbuka untuk direfleksikan kembali, apakah akan terus digunakan, membutuhkan penyesuaian atau perubahan. Menurutnya, ini sebaiknya tetap menjadi semacam rutinitas individu dalam fase-fase perkembangan personal dan organisasi. Para pegiat pun bersepakat untuk menerapkannya dengan pendekatan dan cara masing-masing.

Di sisi lain, untuk perkembangan organisasi, ada beberapa aturan main yang diperlukan. Bagi Laura Resti, Dewan Pengawas CTM, sebagai sebuah perkumpulan perlu melakukan berbagai penyesuaian atau menyusun prosedur yang dibutuhkan. Salah satu yang sempat disinggungnya adalah pentingnya prosedur keselamatan kerja. Dengan situasi saat ini, organisasi bisa mempertimbangkan ke depan untuk mengakses asuransi perjalanan yang cukup fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta kemampuan organisasi saat ini. Hal ini penting sebagai prosedur perlindungan bagi para pegiat dalam beraktivitas.

Pertemuan antara board, pengawas, dan pegiat eksekutif ini pada akhirnya melahirkan beberapa rekomendasi yang sifatnya substansial untuk menghadirkan dampak yang berarti bagi CTM dan komunitas, maupun yang sifatnya administratif berupa penyusunan SOP-SOP yang diperlukan dalam pengelolaan organisasi dan akan membantu dalam banyak hal, terutama dalam pengambilan-pengambilan keputusan ke depannya.

 

 

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Suherman
  • atau artikel terkait
  • Reportase
  • (citatanahmahardika.org)
Tag RefleksiReportase
Sebelumnya

Langkah Kecil untuk Perubahan: Dari Hasil Laut yang Berkurang hingga Tumbuhnya Inisiatif Bersama

Berikutnya

Upaya Pengembangan Usaha Komunitas: Proses Berbagi Pengalaman Belajar Inkubasi Bisnis Bersama Passe’reanta

Terkait Lainnya

Whatsapp Image 2025 08 13 At 01 00

Upaya Pengembangan Usaha Komunitas: Proses Berbagi Pengalaman Belajar Inkubasi Bisnis Bersama Passe’reanta

16 Agustus 2025
Sesi foto bersama di 'Kebun Komunitas' (Agung, CTM 2025)

Langkah Kecil untuk Perubahan: Dari Hasil Laut yang Berkurang hingga Tumbuhnya Inisiatif Bersama

7 Agustus 2025
Cuplikan layar nelayan Bajo di film Salt in Their Veins (Rita Hencke)

Film ‘Garam di dalam Nadi Mereka’: Emosi Orang Bajo dan Nelayan Tradisional

27 April 2025
Sampul Novel Yang Tersisa dari yang Tersisa karya Nurhady Sirimorok. (Sumber gambar: www.blibli.com)

Karya Sastra yang Memotret Kehidupan Masyarakat Perdesaan

9 April 2025
Salah satu sesi belajar dalam Training for Transformation (TFT) in Practice di Tombolo Pao pada tahun 2023 lalu. (Arsip Cita Tanah Mahardika)

Cerita Tiga Babak: Sebuah Catatan Refleksi Personal

15 Maret 2025
Ibu-ibu Passe'reanta, warga satangnga  dan pemudi-pemudi Bauluang yang turut serta dalam pelatihan merajut di Pulau Satangnga yang difasilitasi oleh Artani Bulk Store. (Cita Tanah Mahardika/ Saenal S.)

Pelatihan Merajut: dari Pelatihan Teknis ke Pengorganisiran (Bagian 1)

31 Januari 2025
Berikutnya
Whatsapp Image 2025 08 13 At 01 00

Upaya Pengembangan Usaha Komunitas: Proses Berbagi Pengalaman Belajar Inkubasi Bisnis Bersama Passe’reanta

Cita Tanah Mahardika merupakan organisasi masyarakat sipil berbentuk Perkumpulan dan bersifat non-profit (nirlaba) yang dibentuk dengan kesadaran akan pentingnya membangun suatu gerakan sosial yang dipadu dengan; riset, pengorganisasian, dan pendidikan kritis untuk mendorong proses transformasi sosial...selengkapnya
  • info@citatanahmahardika.org
  • About Us
  • Mitra dan Jejaring
  • Tim Kami
  • Tim Redaksi
  • Contact Us
Cita Tanah Mahardika merupakan organisasi masyarakat sipil berbentuk Perkumpulan dan bersifat non-profit (nirlaba) yang dibentuk dengan kesadaran akan pentingnya membangun suatu gerakan sosial yang dipadu dengan; riset, pengorganisasian, dan pendidikan kritis untuk mendorong proses transformasi sosial...selengkapnya
  • info@citatanahmahardika.org
  • About Us
  • Mitra dan Jejaring
  • Tim Kami
  • Tim Redaksi
  • Contact Us
© 2023 - citatanahmahardika.org. All Rights Reserved.
No Result
View All Result
en English id Indonesian
  • Home
  • Cerita dari Kampung
  • Kajian
  • Aktivitas
    • Pendidikan Kritis
    • Pengorganisasian
    • Riset
      • Analisis
      • Publikasi
  • Produk Komunitas
  • About Us
  • Contact Us
  • Login