Tulisan ini bercerita tentang pengalaman belajar penulis dalam mengamati proses kegiatan merajut di Pulau Satangnga yang melibatkan organisasi rakyat Passe’reanta dan komunitas luar pulau dari Artani Bulk Store Makassar. Kegiatan ini dilakukan untuk mengolah barang bekas seperti plastik menjadi barang yang berguna, bisa dimanfaatkan, dan bernilai ekonomi. Hal ini juga diharapkan dapat jadi bagian dari tindakan-tindakan pemulihan lingkungan. Tentu saja, tulisan ini tidak merekam semua kejadian yang berlangsung. Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Penekanan pada bagian pertama berpusat pada (1) proses pengorganisiran yang dilakukan oleh Passe’reanta secara mandiri; dan (2) cerita-cerita yang mengemuka saat mendatangi rumah-rumah warga untuk hadir ke pelatihan merajut.
Melihat Passe’reanta mengorganisir diri
Sisa-sisa dingin tadi subuh masih terasa saat kami melintasi poros Gowa-Takalar menuju dermaga Boddia pada pukul 06.00 pagi, 12 Januari 2025. Kami melalui jalan raya yang masih sepi, lalu singgah ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk dibawa ke pulau. Bahan-bahan yang bermacam jenis itulah yang akan melengkapi olahan para ibu-ibu di pulau sebagai hidangan yang bisa dinikmati bersama saat pelatihan nantinya.
Ketika sampai di Boddia, rupanya kami harus menunggu perahu kurang lebih 2 jam –yang tak membuahkan hasil. Hanya ada satu perahu jolloro’ yang menyeberang hari itu dan sudah berlayar menjauhi kami beberapa waktu lalu. Tak tinggal diam, kami kemudian melaju kembali dengan sepeda motor menuju Dermaga Parappa, salah satu dermaga penyeberangan yang lain ke pulau-pulau di Tanakeke. Dermaga ini dapat kami tempuh sekitar 30 menit dari Dermaga Boddia.
Dari Parappa, akhirnya kami bisa berangkat ke Pulau Satangnga dengan perahu jolloro yang bertenaga mesin mobil.
Sesampainya di Satangnga, kami berjalan menyusuri rumah-rumah yang sesak di daerah Satangnga Raya, dan melangkah melalui paving blok sebelum akhirnya berhenti di rumah Daeng Tika, salah seorang teman belajar di Pulau Satangnga. Kami mengobrol sejenak sambil mengistirahatkan badan, lalu membawa bahan-bahan yang kami bawa dari darat ke rumah Daeng Caya, salah seorang pegiat Passe’reanta.
Berdasarkan rencana awal, bahan-bahan itu akan diolah di rumah Daeng Sugi, ketua Passe’reanta. Tetapi karena alasan yang mendesak dan penting, ia tidak sedang di pulau hari itu. Situasi semacam ini kurang diantisipasi sebelum berangkat ke pulau. Sehingga, wajar saja Daeng Caya sedikit kaget dengan adanya bahan-bahan untuk makanan pelatihan dua hari ke depan berada di rumahnya.
Ketidakhadiran Daeng Sugi tidak menyurutkan inisiatif para penggerak Passe’reanta menyambut pelatihan merajut untuk peningkatan kapasitas ibu-ibu dalam memanfaatkan barang-barang bekas menjadi barang yang berguna dan bisa bernilai ekonomis. Rapat lalu diinisiasi oleh Daeng Caya dan berlangsung pada keesokan harinya (13/1/2025).
Hari pertemuan rapat pun tiba. Di tengah cuaca yang lumayan gerah, para pegiat Passe’reanta duduk melingkar dan membahas sejumlah persiapan untuk pelatihan merajut di hari esok. Cukup banyak dari mereka yang hadir, yakni Daeng Caya, Daeng Lebang, Daeng Dinging, Daeng Bau ‘Ance’, Daeng Bau ‘Tika’ dan Daeng Patta.
Alur pembicaraan rapat dimulai dari pembicaraan seputar pengelolaan konsumsi. Para ibu-ibu Passe’reanta mulai menakar berapa jumlah peserta dan berapa porsi yang harus mereka sediakan. Sebagai antisipasi, mereka menyepakati untuk menyediakan makanan untuk 40 orang. Walaupun jumlah peserta yang dibayangkan pada awalnya hanya 35 orang saja. Perdebatan lainnya mengenai konsumsi berkutat pada jumlah dan jenis bahan yang mesti disediakan dalam memasak.
Salah seorang anggota Passe’reanta beranggapan untuk menyediakan hidangan yang ‘terbaik’ dan dengan demikian menganggap bahwa jumlah sumber daya yang disediakan untuk bahan konsumsi kemungkinan tidaklah cukup. Di kampung, banyak dari warga tempatan yang masih menganggap bahwa seseorang yang datang dari luar pulau adalah tamu. Sebagaimana tamu, mereka harus disambut sebaik mungkin, salah satunya dengan memberikan hidangan terbaik. Tak masalah dengan perdebatan ini, mereka juga membicarakannya dengan terbuka dan sangat cair.
Setelah urusan konsumsi dirasa kelar, mereka melanjutkan pada bagaimana cara mengajak peserta untuk hadir ke pelatihan. Ini penting dibicarakan. Bukan untuk memobilisasi orang untuk sekadar datang, duduk, dan bertahan sampai pelatihan selesai. Tetapi, mengajak sebagai salah satu cara bagi pegiat untuk menjalin hubungan sesama warga dan memperluas daya jangkau Passe’reanta sebagai organisasi rakyat di pulau.
Kembali ke persoalan cara mengajak warga, terdapat dua pendapat yang berkembang dalam rapat tersebut. Pendapat pertama datang dari Daeng Patta yang mengusulkan agar undangan ajakan dilakukan secara resmi yaitu dengan menggunakan surat undangan. Tetapi, ia sendiri juga menyadari bahwa kapasitas personal dan peralatan yang memadai belum memungkinkan untuk menempuh cara itu. Seperti dalam ungkapannya, “Kalau kita misalnya membuat undangan maka tantangannya besar dan akan repot,” karena orang-orang belum mahir betul membuat dan mencetak undangan.
Pendapat kedua diusulkan oleh Daeng Lebang. Ia memberi usulan untuk mengundang ibu-ibu lainnya dengan datang mengundang secara langsung ke rumah masing-masing orang. Menurutnya, ini perlu kita coba. Jika gagal, tentu akan menjadi pelajaran bagi anggota Passe’reanta. Usulan Daeng Lebang tampak mengingatkan pada kegiatan-kegiatan kampung yang kerap mengundang dengan cara yang tidak formal. Hanya perlu datang ke rumah orang, lalu menyampaikan maksud mengundang secara lisan.
Dari dua usulan tersebut, usulan Daeng Lebang pun menjadi kesepakatan bersama.
Selanjutnya, mereka kemudian mendiskusikan tempat lokasi pelatihan. Mereka sepakat untuk mengadakannya di perpustakaan salah satu sekolah di pulau. Ruangannya cukup luas, tetapi tampak sesak jika menampung puluhan orang. Di pulau memang ada kesulitan tersendiri mencari tempat yang lebih luas dan mampu menampung banyak orang. Atas alasan itu, ruangan perpustakaan menjadi pilihan satu-satunya yang muncul. Setelah disepakati, komunitas lalu membersihkannya sebab ruangan tersebut diketahui sudah lama tidak digunakan.

Menjelang berakhirnya rapat siang itu, pembagian kerja pun dilakukan sebelum aksi. Dari sini, mereka menyepakati bahwa masing-masing orang yang hadir memiliki tanggung jawab tersendiri; misalnya, Daeng Patta akan mengurusi perizinan tempat pelatihan (perpustakaan), Daeng Caya dan Daeng Bau ‘Ance’ mengurus konsumsi. Sementara Daeng Lebang, Daeng Dinging dan Daeng Bau ‘Tika’ bertugas mengundang warga. Sementara tugas untuk membersihkan tempat pelatihan dikerjakan bersama pada sore hari. Pembagian kerja ini dilakukan oleh mereka sendiri atas nama organisasi bersama, tidak diputuskan sendiri-sendiri.
Setelah masing-masing orang sudah mengetahui tugasnya, tim yang paling pertama bergerak adalah tim yang bertugas mengundang.
Dari rumah ke rumah; dari cerita ke cerita
Setelah beranjak dari lokasi pertemuan, Daeng Lebang, Daeng Dinging dan Daeng Bau ‘Tika’ langsung menyambangi rumah-rumah warga. Satu per satu mereka datangi. Dari satu rumah tangga ke rumah tangga yang lain, masing-masing memperoleh informasi yang sama: ajakan untuk hadir ke pelatihan merajut yang akan berlangsung pada hari Selasa, 14 Januari 2025 pukul 10.00 – 12.00 di ruang perpustakaan SMPN 3 Mappakasunggu.
Saya pun ikut menemani mereka secara langsung. Selain bertemu dengan orang baru, ini juga membuka pintu untuk mengakrabkan diri dengan warga lainnya. Dari setiap rumah yang kami kunjungi untuk diundang, saya mendengar satu cerita ke cerita yang lain yang bermunculan. Cerita-cerita yang tak terduga.

Cerita pertama yang menyita perhatian saya adalah sewaktu Daeng Bau ‘Tika’ memberi tahu pada satu rumah tangga yang kami datangi, jika pelatihan yang akan diselenggarakan ini tidak menyediakan amplop.
“Battua anne riballata amboya’ki. Amminawang ri pelatiang merajut ammuko (Saya datang ke rumah untuk mencari ibu’. ‘Bermaksud’ mengajak ke pelatihan merajut besok),” kata Daeng Bau ‘Tika’.
“Tena antu amplo’na. Ni sadiang ka’do ri tinggi alloa (Tapi tidak ada amplop ‘uang saku’, hanya disediakan makan siang),” lanjutnya.
Amplop biasanya identik sebagai ‘uang duduk’ yang banyak diberikan oleh penyelenggara kegiatan (terutama dari pihak pemerintah, politisi maupun LSM) kepada peserta yang datang. Uang duduk tentu saja punya peran besar untuk memobilisasi orang untuk datang pertemuan, tetapi bisa membentuk cara pandang yang berisiko; bahwa setiap pertemuan yang dilakukan oleh orang atau lembaga luar harus menyediakannya. Pada gilirannya menciptakan ketergantungan dan bisa melemahkan hubungan sosial.
Di rumah selanjutnya, seorang ibu yang kami datangi rumahnya mengatakan tidak dapat berpartisipasi dan menjelaskan kepada kami alasan tidak terlibat di pelatihan besok. Begini katanya:
“Tena naku kulle ka pisaringgi anakku, lekbami ku erang mangge ri ibu bidang, ka rua angngalo mi bambang (Saya tidak bisa karena anak saya sakit, sudah pernah saya bawah ke bidan, sudah dua hari demam).”
Menghadapi penyakit memang menjadi tantangan tersendiri bagi warga di pulau ini. Fasilitas kesehatan tidak memadai dan hanya mengandalkan pengobatan yang seadanya atau harus ke luar pulau untuk mendapatkan pelayanan yang baik.
Tak jauh dari dermaga, terdapat bangunan Puskesmas yang tidak berfungsi sama sekali. Kondisinya reok yang sedikit lagi mungkin akan ambruk jika tidak mendapat perhatian. Untuk daerah pulau kecil seperti Satangnga, fasilitas kesehatan yang memadai tentu adalah kebutuhan, mengingat jaraknya yang cukup jauh dari daratan utama (Kota Takalar). Belum lagi jika kondisi cuaca yang buruk bisa datang kapan saja, dan menyeberangi lautan dalam situasi itu sama berisikonya dengan fasilitas kesehatan yang tidak memadai.
Sebelum beranjak ke rumah yang lain, Daeng Lebang sempat membagi pengalaman.
“Pakkanreangngi oba’ Parasetamol, nampa uru’-uruki kacikoro’na, ka biasa antu langsungngi baji (Beri makan obat Paracetamol, lalu pijat-pijat lehernya pada bagian belakang. Biasanya itu langsung pulih),” saran Daeng Lebang sembari mempraktekkannya ke leher bagian belakang ibu itu.
Cerita lain yang kami dapat adalah bagaimana keterbatasan ibu-ibu untuk menghadiri pertemuan di kampung dikarenakan urusan-urusan domestik dan kerja-kerja perawatan. Misalnya, harus memastikan terlebih dahulu makanan untuk anaknya yang sedang sekolah, menyusui anak dan menghidangkan makanan bagi suaminya yang dari melaut. Kerja-kerja domestik ini juga beberapa kali muncul sebagai tantangan bagi para ibu-ibu Passe’reanta saat lokakarya organisasi dilakukan.
Rumah lainnya yang kami datangi juga bercerita tentang kondisi tanah yang ia tempati bermukim. Menurutnya, tanah yang menjadi alas berdirinya rumah yang ia tinggali sekarang ini, dahulu kerap dijadikan area pengambilan pasir untuk membangun rumah batu. Sehingga kini kondisi tanahnya lebih rendah dan rentan tergenangi air, bahkan mengalami banjir.
Rumah batu memang menjadi primadona bagi warga Satangnga sejak beberapa dekade lalu. Banyak dari warga pulau yang berlomba membangun rumah batu. Bukan hanya karena rumah batu lebih fungsional dari rumah kayu, misalnya lebih tahan terhadap terpaan angin, tetapi juga dalam anggapan banyak orang di kampung, rumah batu juga sebagai simbol dari kemajuan dan kemakmuran. Tetapi, secara perlahan harga yang harus dibayar dari booming rumah batu di Satangnga kian bermunculan, mulai dari pegambilan batu karang hingga pengerukan pasir yang berdampak pada kelestarian lingkungan pesisir dan laut. Dampak yang kian nampak adalah abrasi pantai.
Keluhan lain yang muncul dari rumah tangga yang kami kunjungi adalah persoalan listrik. Saat mendapati cerita ini, kondisi listrik di pulau tersebut mengalami masalah. Mesin genset dengan tegangan yang cukup tinggi—yang sebelumnya menopang beberapa rumah tangga kini mengalami kerusakan. Di waktu yang lain, saya pernah mendapati alasannya.
Berdasarkan tuturan seorang warga, hal tersebut disebabkan karena penggunaan listrik yang tidak terkontrol dan lebih konsumtif dari biasanya, misalnya, salah satu penggunaan listrik tambahan, yaitu mengisi daya kendaraan listrik (sepeda motor elektrik). Argumen ini mungkin ada benarnya, tetapi masih perlu didalami di lain waktu. Akibatnya, beberapa rumah tangga harus menanggung sendiri kebutuhan listrik dengan biaya yang lebih mahal.
Sebelum sumber listrik (mesin genset) yang dikelola per dusun rusak, setiap rumah tangga mengeluarkan biaya pembayaran untuk operasional secara berbeda berdasarkan tingkat konsumsi listrik. Misalnya, 25 ribu rupiah untuk pemakaian listrik selama lima hari bagi rumah tangga yang memiliki mesin cuci dan kulkas. Sementara yang tidak memiliki mesin cuci dan kulkas cukup dengan membayar 20 ribu rupiah saja. Jauh berbeda ketika masing-masing rumah tangga sendiri yang menanggung listrik, biaya yang harus dikeluarkan untuk satu malam berkisar 20 ribu rupiah dan hanya mampu menyuplai listrik selama 6 jam. Setelahnya listrik akan mati. Dengan demikian, pengeluaran masing-masing rumah tangga akan jauh lebih membengkak di tengah sumber hasil laut yang kian menurun.
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung yang dikolaborasikan dengan Agung Raka Pratama.
***