Jalepa[1] membawa saya dan ketiga pegiat CTM lainnya meninggalkan Pulau Satangnga. Arus ombak cukup baik pagi ini, tapi tetap mampu menggoyang perahu tak bercadik yang kami kendarai. Berangsur singkat, Aco sang juru mudi, menepikan jalepa di bibir pantai Pulau Bauluang. Salah satu pulau kecil dalam gugusan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Dari sini, saya berjalan dari arah barat menuju timur pulau. Area mukim belasan warga yang sebentar lagi akan merayakan Maudu’.[2]
Kami tiba di rumah Daeng Sangnging dan berbalas sapa dengan sejumlah warga. Kampong tangnga[3] saat itu tampak begitu ramai. Sebagian warga terlihat sibuk menghias rangka kayu yang ditopang empat tiang penyanggah. “Namanya bembengang,” sebut salah seorang warga pada saya di kesempatan lain, tepatnya di bulan September 2024 lalu.
Memasuki Oktober, arah angin sebentar lagi beralih, dari angin timur berganti angin barat. Begitu mereka menamainya. Di bulan ini beberapa nelayan torani[4] juga kembali dari area pencarian telur ikan terbang. Salah satunya, Daeng Toro. Melihat saya, ia lalu melambaikan tangannya. Saya menuju halaman depan rumah memenuhi panggilannya. Di sana, ia beserta kedua putranya juga tengah sibuk menghias bembengang.
Tak berapa lama, Daeng Rampu, keluar dari balik pintu rumahnya. Ia membawa bakul yang berisikan beras. “Sama siapa datang?” Tanyanya ramah sambil tersenyum kepada saya. Ia lalu menyerahkan bakul pada Daeng Toro, suaminya. “Sama Irwan, Saleh dan Enal,” kata saya. Wajahnya beralih masam mengetahui sebagian kawan tidak turut serta pada kunjungan kali ini. “Agung, Deni, sama Suherman, ada dia kerja tanta,” kata saya lagi, saya berusaha menghadapi perubahan eskpresi di wajahnya. Cemberutnya perlahan memudar, ia pun kembali masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, Daeng Toro masih sibuk menata bakul di atas bembengang. Diambilnya bilah-bilah bambu kecil berlapis kertas berwarna merah. Satu demi satu, bilah bambu itu diberi telur rebus pada ujung atasnya, lalu ditancapkan berdiri mengelilingi bakul berisikan beras tadi. Ketika semuanya sudah siap, kedua putranya lekas mengangkat bembengang-nya.
“Dibawa ke rumahnya Daeng Ruppa,” kata Daeng Toro sembari mengikat empat sarung warna-warni pada keempat bilah kayu yang terpancang pada empat sudut bembengang. Menurutnya, sarung ini dimaknai sebagai bendera. Tapi sarung bukan satu-satunya. Ada juga warga yang menggunakan seprei, sarung Bali dan baju atau celana anak-anak maupun dewasa. Semuanya sama, dimaknai sebagai sebuah bendera. Bendera-bendera ini juga umumnya ditaruh di julung-julung atau sebuah miniatur kapal yang biasanya dibuat untuk perayaan Maudu’.

Saat bendera telah siap, Daeng Toro berlalu mengikuti jejak kaki kedua anaknya tadi. Saya kembali menuju rumah Daeng Sangnging yang berdiri tepat di sisi rumah Daeng Toro. Tampaknya seluruh orang telah sibuk. Sebagian besar orang melakukan apa yang dilakukan oleh Daeng Toro barusan. Menghias bembengang, kemudian menata bakul berisi beras, menyiapkan ayam siap santap serta telur-telur rebus yang telah diwarnai. Daeng Ruppa mengatakan kalau tiga kebutuhan ini wajib disediakan. Walau tak jarang juga yang menambah isian bakul dengan ragam jenis kue-kuean. Ada waje, dodoro’, maupun umba-umba’. “Tergantung kondisi ekonominya orang,” terangnya.
Kala itu, saya beserta ketiga kawan lainnya, Deni, Agung dan Suherman, bertemu Daeng Ruppa di rumahnya. Di Bauluang, ia dikenal sebagai penjaga tradisi Maudu’. Dalam kalender hijriah, setiap bulan Rabiul Awal, di hadapan rumahnya akan menjadi tempat bagi kurang lebih 60 rumah tangga merayakan maudu’ yang dilakukan setahun sekali. Sepanjang sore itu, ia banyak bercerita seputar perayaan Maudu’. Katanya, Maudu’ di Bauluang masih memiliki ikatan erat dengan perayaan maudu’ lompoa atau Maulid Besar di Cikoang, Takalar.
Saat maudu’ lompoa berlangsung, Cikoang selalu dipadati para pendatang. Pasalnya, maudu’ lompoa telah menjadi salah satu bukti kayanya kebudayaan lokal dan Islam, khususnya di Takalar dan secara umum di Sulawesi Selatan. Keunikannya dapat terlihat dari keberadaan julung-julung atau kapal kayu yang berhiaskan kain warna-warni. Di dalamnya, berbagai macam bahan pokok disimpan, mulai dari telur hingga hasil bumi lainnya dari wilayah lain di Kabupaten Takalar[5].
Kemeriahan serupa turut terjadi di Bauluang. Saat Maudu’, banyak tetamu yang akan datang dari pulau-pulau lain di Tanakeke, dari daratan Galesong hingga Makassar. Terutama bagi mereka yang masih memiliki ikatan keluarga dengan mereka yang sudah menetap lama di Bauluang. Sebulan sebelum perayaan, puluhan warga mulai sibuk dengan ragam persiapan, salah satunya adalah menyiapkan ayam sembelihan. Jumlahnya bergantung pada jumlah anggota rumah tangga atau satu ayam per tiap orangnya. Misal, ada 4 orang yang mengisi satu rumah, maka akan ada 4 ekor ayam yang mesti disiapkan untuk disembelih nantinya.
Ayam-ayam ini akan dibersihkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke kandang. Mereka hanya keluar saat dimandikan dan diberi makan oleh pemiliknya. Dalam sehari biasanya dua kali, yakni pada pagi dan sore hari. Dalam prosesnya, ayam-ayam ini harus dijaga untuk memastikan apa saja yang dimakannya. Ayam mesti disucikan dari kotoran. Selain itu, tak sembarang ayam yang akan disembelih. “Harus ayam kampung,” kata Daeng Sangnging menegaskan ucapan Daeng Ruppa.
“Kenapa harus?” tanya saya penasaran pada Daeng Ruppa. Menurutnya, ayam kampung itu bisa diketahui usianya lebih jelas sehingga tahu kapan waktu yang tepat untuk menyembelihnya. Apalagi, ayam kampung itu dipelihara dengan baik oleh pemiliknya. “Kalau ayam dibeli, tidak ditau berapa usianya,” ungkapnya. Ayam sama pentingnya dengan beras, kelapa dan telur. Bahkan wajib tersedia saat memeriahkan maudu’. Keempatnya jadi semacam jadi syarat yang mesti terpenuhi dalam prosesi. Masing-masing memiliki makna yang berbeda. Ayam dimaknai sebagai hewan yang mampu mengetahui waktu. Saat memasuki subuh, ayam-ayam akan mulai berkokok, ia bak menjemput fajar yang sebentar lagi menyingsing. Lalu, sepanjang pagi hingga sore, ayam akan berkeliaran mencari makan sendiri, dan ketika menjelang petang ayam-ayam sudah akan kembali ke tempatnya mengistirahatkan diri. Cara hidup ayam seperti ini yang baiknya memberi inspirasi. Jikapun perlu, dapat dilakukan dalam keseharian kita. Begitulah Daeng Ruppa menjelaskannya.
Ia melanjutkan ceritanya, kali ini tentang beras. Menurut Daeng Ruppa, beras yang digunakan sebaiknya bukan beras putih, melainkan yang masih berselimut kulit atau beras gabah. Sebab nantinya bulir gabah ini akan di-dengka atau ditumbuk. Biasanya dilakukan seminggu jelang perayaan. Meskipun ini mulai cukup jarang dilakukan menyusul masuknya mesin berbahan bakar solar. “Kenapa begitu?” tanya saya heran. Baginya, kulit gabah dipahami sebagai daging. “Coba mi buang beras putih di tanah, tidak tumbuh itu,” katanya sambil tertawa. “Per orang itu 4 liter beras,” jelasnya tentang jumlah beras yang akan disumbangkan tiap orang saat Maudu’.
Jumlah beras antara satu rumah tangga dengan yang lain bisa berbeda, karena akan disesuaikan juga dengan jumlah anggota keluarga. Inilah yang akan mengisi bakul atau ‘bakuq’ dalam tuturan warga tempatan.

“Kalau bakuq,” lanjutnya berusaha menerangkan, “itu dipahami sebagai kulit”, sehingga beras dan bakuq itu dianggap sebagai dua hal yang tidak terpisah. Itu digambarkan sebagaimana wujud fisik manusia, kelekatan antara daging dan kulitnya. Tapi laju zaman mulai mengikis ingatan sebagian orang tentang ini. Di Bauluang, bakuq biasanya dibuat dari bahan dasar daun lontara’. Tetapi di tempat lain, bakuq mulai tergantikan dengan ember atau baskom. “Plastik itu, susah itu na makan (baca: diurai) tanah,” komentarnya serius.
Bahasan kemudian beralih pada kelapa, salah satu tumbuhan yang biasanya jadi bagian hidup warga kepulauan. Tanaman dengan nama latin cocos nucifera L. ini dahulunya menyebar ke penjuru pulau karena terbawa gelombang laut. Diperkirakan, asalnya dari Amerika Selatan. Sejak ribuan tahun sebelum masehi kelapa sudah dibudidayakan di sana, tepatnya di Lembah Andes, Kolombia.[6] Sedang catatan lain menyebut, selain tersebar secara alami, kelapa juga disebarluaskan oleh pelaut-pelaut Austronesia. Mereka berlayar antar pulau menggunakan perahu bercadik sambil mendirikan pemukiman baru. Dari kepulauan di Filipina ke selatan menuju Sulawesi, lalu ke timur hingga Kaledonia Baru di Pasifik Selatan. Ini berlangsung sekitar 3.000 tahun lalu.[7] Sejak itu, pohon kelapa dianggap telah tersebar ke penjuru dunia, dari satu pesisir ke pesisir lainnya. Kini, kelapa tumbuh subur di negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia, termasuk di Pulau Bauluang.
Dalam kehidupan harian warga tempatan buah kelapa sering dimanfaatkan tiap rumah tangga dan juga diperjual-belikan. Komunitas di sana sempat mencoba menambah nilai gunanya dalam bentuk Virgin Coconut Oil (VCO). Selain itu, kelapa juga bisa diolah menjadi minyak goreng. Di tengah iklan minyak sawit yang mentereng dalam rupa merek, minyak kelapa masih bisa menjadi andalan. Apalagi untuk menggoreng sajian saat tradisi Maudu’ dianjurkan tak memakai minyak kemasan “tapi minyak kelapa”, terang Daeng Ruppa suatu waktu. Ia bilang, kelapa itu bermakna laiknya kepala manusia. Ada tiga titik lubang pada tempurungnya, sama halnya dengan keberadaan mata dan hidung manusia. Sedang sabuknya adalah rambut. Artinya, menggunakan minyak sawit tidak diperkenankan, sebab akan mengubah makna dari satuan prosesi Maudu’ yang terwariskan turun-temurun.
Syarat lainnya adalah telur. “Kenapa warnanya merah?” tanya saya. Daeng Ruppa memperbaiki posisi duduknya. Ia mengatakan jika dulunya telur yang tersaji saat Maudu’ itu dianjurkan berwarna merah karena mewakili sifat terang, yang kemudian hari bisa menerangi manusia dalam kehidupan selanjutnya atau akhirat. Meski begitu, saat ini warna telur saat perayaan Maudu’ tidak lagi hanya berwarna merah. Ada juga yang berwarna hijau, keunguan atau sesuai warna cangkang telur itu sendiri, tergantung pewarna apa yang digunakan. Di Bauluang sendiri, kasumba jadi pilihan. Saat matang, cangkang telur akan menjadi merah cerah. “Biar beda ki to,”[8]ungkapnya sembari meluruskan punggungnya di kursi plastik yang ia duduki. Telur ini sendiri dimaknai sebagai rahasia atau hati yang isinya tentu saja tidak ada yang tahu.
Mengalami Maudu’ di Bauluang
3 Oktober 2024, saya berkesempatan berkunjung kembali ke Bauluang. Niatnya tak lain, mengikuti peringatan Maudu di Bauluang. Pagi selepas bercerita dengan Daeng Toro, saya mengikuti rombongan warga pengarak bembengang. Kami berjalan ke arah rumah Daeng Ruppa yang berada di timur pulau. Saya sempat singgah di satu rumah yang lain. Di situ, puluhan warga tengah duduk dan berdiri. Ada laki-laki dan perempuan dari beragam usia. Mulai dari usia kanak-kanak, remaja, dewasa hingga orang tua. Sungguh pagi menuju siang yang terasa hangat. Hangat bukan karena terik, tapi karena tawa dan lelucon yang menyeruak tak berkesudahan dari mereka, bak hiburan di tengah pentas komedi.
Mereka sedang menunggu waktu mengangkat julung-julung. Bentuknya cukup berbeda dengan bembengang. Julung-julung lebih menyerupai kapal sampan berukuran kecil atau sedang. Isiannya juga lebih beragam seperti beras, telur, ayam, kue-kuean, sayur-mayur dan perlengkapan mandi. Ada pula sarung, handuk, sarung bantal dan seprei, serta pakaian seperti celana dan baju anak-anak hingga dewasa. Bahkan terdapat juga cemilan dan permen bagi anak-anak. Karenanya, untuk mengaraknya akan butuh belasan orang dewasa. “Ini julung-julung bunting berua,”[9] kata salah seorang warga mengejutkan saya. Dengan cepat senyumnya merekah.

Daeng Bali, begitu pemukim kampong tangnga memanggilnya. Ia salah seorang pengerajin kapal. Bisa jadi satu-satunya yang masih tersisa saat ini. Banyak jolloro[10] yang jadi karena tangan terampilnya. Ada yang digunakan oleh nelayan Bauluang, Galesong dan sekitarnya. 2024 menjadi tahun kebahagiaan Daeng Bali beserta seluruh anggota keluarganya. Baru saja putri sulungnya menikah dengan salah seorang pemuda asal pulau lain di Takakeke. Sebagai wujud syukurnya, ia membuat julung-julung yang tampak tegap berdiri di hadapan kami. “Tunggu dulu nah, kesana ka dulu,” ucapnya meninggalkan saya.
Selang beberapa waktu, belasan orang dewasa mulai berdiri. “Mau mi diangkat ke rumahnya Daeng Ruppa. Hp-ta’ simpan, jang ki kantongi,” kata Daeng Mappa mengingatkan. Saya mengangguk dan lekas memberikan handphone saya pada Saleh. Satu demi satu orang masuk ke bawah kolong julung-julung. Dari arah belakang saya, Daeng Ruppa menuju naik ke atasnya, sedangkan di bawah kolong julung-julung itu warga mulai berhamburan, saling menghindar dan kejar-kejaran. Mereka berusaha selamat dari hitamnya arang basah yang sewaktu-waktu dapat menempel dan tercoreng di wajah. Pelakunya banyak, mereka adalah warga sendiri yang datang dari berbagai arah. Depan, belakang, kiri ataupun kanan. Cepat dan tidak terduga. Pelaku pun turut menjadi korban. Semakin banyak wajah yang menghitam, semakin keras pula suara tawa warga. Seluruhnya larut dalam candaan semacam ini.
Daeng Ruppa lekas memecah keriuhan. Ia mulai memukul gandrang[11] berkali-kali. Tanda sebentar lagi julung-julung akan diangkat. Seluruh warga kembali masuk ke kolongnya. “Satu, dua, tiga,” teriak Daeng Ruppa. Gandrang ditabunya dengan keras, berpadu dengan langkah belasan pasang kaki. Sedikit demi sedikit, julung-julung diarak berpindah tempat. Ini dilakukan berulang dan kemeriahan terus terjadi. Tiba di bibir pantai, seluruh orang singgah. Tetiba, telapak tangan seorang warga mendarat juga tepat di pipi saya. Pelakunya segera berlalu dengan gesit dan tak sempat terlihat. “Kenapa bisa hitam muka ta’ itu?” tanya seorang ibu yang melihat wajah saya sambil tertawa. Saya membalas tawanya. Gandrang kembali dimainkan. Perlahan, julung-julung diarak turun menuju pantai. “Satu, dua, tiga!” terucap jauh lebih banyak dan riuh, baik itu oleh Daeng Ruppa dan juga mereka yang mengaraknya di bawah kolong.
Julung-julung jadi terasa jauh lebih berat untuk diangkat. arakan semakin ke dalam dan air laut kian meninggi hingga batas pusar orang dewasa. Tapi arak-arakan justru semakin meriah karenanya. Mereka yang berada sekitar semeteran dari kolong julung-julung, menghambur asinnya air laut pada mereka yang berada di bawah kolong. Pun, hitamnya arang tetap saja mendarat di muka orang-orang dalam situasi itu. Setelah hampir dua jam prosesi ini berlangsung, julung-julung ini akhirnya tiba di halaman rumah Daeng Ruppa. Ia diletakkan bersisian dengan puluhan bembengang dan dua julung-julung lainnya.
Waktu seolah berlalu dengan cepat. Setelah shalat zuhur, warga kembali berbondong-bondong menuju ke rumah Daeng Ruppa. Tiba di sana, puluhan warga telah memenuhi halaman rumahnya. Di atas rumah, suara sejumlah warga tengah melakukan “a’rate”. “Shalawat-shalawat itu untuk Nabi,” kata salah seorang warga. Di kolong rumah panggung yang lain, terlihat penuh diisi oleh belasan warga. Tangan Daeng Toro tampak melambai dan saya segera berjalan ke arahnya. “Duduk di sini dulu,” katanya.
Terdengar beberapa warga tengah menyusun rencana. “Lari, rampas dan bawa pulang telurnya”, itu simpulan saya selama mendengar obrolan mereka. “Sebentar, buka sandal, baru lari pi ma’rampas,” pesan Daeng Tuli sambil tertawa hebat yang kemudian disusul warga lain yang mendengar candaannya. “Kenapa harus dirampas?,” tanya saya lagi-lagi penasaran. Belum lagi itu terjawab, Daeng Toro sudah berdiri mengajak saya segera ikut dengannya.
“Siap-siap Ical, mau mi baku rampas orang,” kata Daeng Toro sambil mempercepat langkah. Kami mendekat menuju kumpulan bembengang. Sejumlah warga saling melempar canda, berbagi tawa dan melempar senyum pada saya. Cepat saja, mereka sudah berhambur masuk di antara bembengang dan julung-julung. “Telur itu kayak rejeki, jadi berlomba-lomba orang ambil,” timpal salah seorang Ibu sambil tertawa. Di tangannya, beberapa butir telur telah tergenggam kuat. Selepas menyimpan telur, ia beserta yang lain kembali merapikan bembengang yang dibawanya masing-masing. “Kalau itu yang lain bisa juga dirampas?” tanya saya pada salah seorang warga. “Tidak, hanya telur saja,” jawabnya tegas.

Mereka para pendatang tetap mendapat bagian. Meski tidak ikut ‘berebut rejeki’, seperti ketiban rejeki nomplok, keberuntungan itu saya terima juga. Sekitar 30-an butir telur berwarna merah dan keunguan berpindah dari tangan Daeng Ruppa. “Terima kasih banyak,” ucap saya. “Salam untuk semua teman-teman di Makassar,” katanya sebelum kembali naik menuju ke rumah panggung miliknya.
Bak melihat pemenang yang turun dari atas ring, pandang semua orang seolah menatap saya dengan bangga. Saya berjalan tenang dengan senyum paling cemerlang. Jelang pukul 3 sore, semua berjalan kembali ke rumah, saya pun ikut kembali. Karena larut dengan tiap prosesi yang berlangsung khidmat, penuh makna, canda dan tawa, saat tiba di Makassar saya duduk dan merenung.
“Sampai kapan hal semacam ini akan bertahan di Bauluang?” tanya saya mengendap di kepala.
***
Catatan akhir:
[1] Penamaan perahu berukuran sedang yang berbahan fiber dalam bahasa Makassar
[2] Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw dalam bahasa Makassar
[3] Satu pemukiman yang areanya berisi belasan rumah. Berbeda dengan rumah-rumah lain, pemukiman ini tidak begitu dekat dengan bibir pantai. Cukup berbeda dari puluhan rumah lain yang berdiri sejajar mengarah langsung ke bibir pantai. Olehnya, mereka yang tinggal di area ini menyebutnya kampong tangnga atau kampung tengah, juga kampong beru.
[4] Nelayan pencari telur ikan terbang dalam tuturan bahasa Makassar
[5] https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/maudu-lompoa-ketika-peringatan-agama-islam-bercampur-dengan-kearifan-lokal/
[6] https://lindungihutan.com/blog/pohon-kelapa/
[7] https://www.mongabay.co.id/2022/05/16/unik-buah-kelapa-dapat-dijadikan-mahar-perkawinan/
[8] Tata bahasa dalam dialek Makassar. Dapat diartikan agar berbeda atau ada yang membedakan antara telur saat maudu dan telur yang direbus untuk kebutuhan konsumsi harian
[9] Ini julung-julung bukti syukur bagi orang yang baru menikah dan keluarganya
[10] Kapal tidak bercadik tapi berlambung besar. Umumnya mampu mengangkut sekitar 10-20 orang. tergantung panjang kapal
[11] Alat musik Makassar yang menyerupai gendang berbentuk tabung. Dua sisinya sama-sama menghasilkan bunyi. Kerapkali dimainkan dengan cara dipukul