Dengan mengendarai sepeda motor, saya dan Abrisal menyusuri poros Gowa-Takalar, Selasa, 29 Agustus 2023 lalu. Kami menuju Pulau Bauluang dengan tujuan belajar bersama mengenai penghidupan masyarakat pesisir.
Di Takalar terdapat dua pilihan lokasi penyeberangan yang biasa digunakan warga untuk menuju ke sana: Takalar Lama dan Galesong Utara. Di Takalar Lama bisa melalui Dermaga Pattallassang, sementara di Galesong Utara ada Dermaga Bo’dia. Kami memilih rute Bo’dia-Bauluang.
Dalam perjalanan ini kami tidak langsung ke Pulau Bauluang, namun ke pulau seberang yang jaraknya tak begitu jauh, Pulau Satangnga, karena beberapa keperluan. Dari Satangnga barulah kami menuju Bauluang.
Di perjalanan ini saya mendapat banyak pelajaran sebab ini adalah kunjungan pertama yang berharga dan saya akan mencoba membaginya dalam tulisan sederhana ini.
Sekilas tentang Pulau Bauluang
Pulau Bauluang adalah salah satu pulau kecil di gugusan Kepulauan Tanakeke, Takalar. Sebelumnya, Pulau Bauluang merupakan bagian dari Desa Mattiro Baji, bersama Pulau Satangnga. Setelah Desa Minasa Baji menjadi desa penuh, Pulau Bauluang akhirnya dimasukkan ke dalam wilayah administrasi desa tersebut beberapa tahun lalu.
Kini Pulau Bauluang bersama Pulau Labbo Tallua dan Pulau Lantang Peo termasuk ke dalam wilayah administrasi yang sama. Jika melihat jarak, kedua pulau tersebut lebih berjarak ke Pulau Bauluang ketimbang Pulau Satangnga yang persis berada di sampingnya.
Dari arah Pulau Satangnga kita bisa melihat dengan jelas Pulau Bauluang. Kita bisa melihat hutan bakau membentang luas di pesisirnya. Jika melihatnya di Google Maps, hutan bakau itu bahkan lebih luas dari daratan pulau itu sendiri.
Barisan rumah di satu sisi daratan pulau ini memanjang dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya. Warga Bauluang biasa menyebutnya sebagai ‘bagian depan’ pulau. Sementara hamparan bakau tadi disebutnya ‘bagian belakang’ pulau. Di kawasan inilah warga Bauluang sering mencari ikan-ikan bakau.
Aktivitas yang menopang penghidupan warga Bauluang cukup beragam, dari bertani, beternak, memancing, memanfaatkan bakau, ma’tembak dan yang terakhir adalah pemanfaatan rumput laut.
Warga juga memanfaatkan daun pandan untuk diolah menjadi tikar. Aktivitas menganyam tikar ini salah satu kesibukan yang biasa dikerjakan oleh sebagian besar ibu-ibu di rumah, termasuk Dg Sangnging, Dg Bacce dan saudarinya, yang sempat kami kunjungi.
Pohon-pohon kelapa juga terlihat tumbuh subur di pulau ini. Buahnya lebat-lebat. Di sini, kelapa dijuluki sebagai tumbuhan serbaguna sebab bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Batangnya bisa dijadikan tiang penyangga rumah dan kebutuhan bangunan lainnya, dan daunnya akan dimanfaatkan sebagai atap atau orang-orang Bauluang menyebutnya sebagai pattongko’.
Sementara itu, buahnya bisa dimanfaatkan untuk banyak hal lagi. Selain untuk dikonsumsi biasa, kelapa bisa diolah menjadi minyak goreng. Bagi ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas perempuan Julukana, buah kelapa bisa bermanfaat untuk pengobatan setelah diolah menjadi VCO (Virgin Coconut Oil).
Bagi Julukana, selain menggunakannya sebagai minyak urut, VCO bisa digunakan untuk membantu mengobati berbagai penyakit, dari demam, gatal-gatal, menyembuhkan luka luar, dan membantu kelancaran pencernaaan.
Julukana dan proses membuat VCO
Julukana merupakan wadah bagi perempuan-perempuan di Pulau Bauluang untuk berkumpul, bercerita, dan bersilaturrahmi sekaligus mendorong kegiatan produksi skala kecil. Julukana merupakan komunitas atau organisasi yang dibentuk pada tahun 2022 lalu.
Di komunitas inilah ibu-ibu dan beberapa perempuan muda memanfaatkan waktunya dan bekerja sama-sama dalam memproduksi VCO. Menurut Dg Lira, yang merupakan salah seorang perangkat desa di beberapa periode lalu, bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksinya bisa diakses cukup mudah karena semuanya tersedia di Bauluang.
Dalam kunjungan belajar kami di Bauluang, kami mendapat kesempatan untuk mengikuti beberapa rangkaian pertemuan Julukana yang diadakan di rumah Saerah, salah seorang perempuan muda Julukana. Di kesempatan itu pula kami memperkenalkan diri dan asal kami, serta tujuan kami berkunjung ke Pulau Bauluang.
Di pertemuan itu kami mencicipi kacang tanah rebus yang merupakan salah satu hasil tani di pulau. Menurut Dg Lira, kacang tanah juga merupakan salah satu yang diancang-ancang akan dikelola oleh Julukana. Namun, Dg Sompa’ menanggapi bahwa sebelum itu, mereka akan fokus terlebih dahulu pada pembuatan VCO.
Dalam pertemuan itu, Julukana berencana membuat minyak VCO di hari selanjutnya. “Besok, kalau bersedia semua jaki’, datangki’ ke sini untuk memarut kelapa, karena mauki’ ini buat minyak,” ucap Dg Sompa’ untuk memastikan kesiapan rekan-rekannya. (Kutipan telah dialihbahasakan dari bahasa lokal).
Dg Sompa’ lalu menyampaikan jika bahan baku dasarnya juga sudah tersedia. Bahan baku itu tidak dibeli namun diperoleh dari kebun sendiri. Saerah dan salah seorang perempuan muda lainnya, Juni, diminta untuk menyiapkan kelapa-kelapa tersebut.
Sore itu, saya menyaksikan beberapa proses awal. Mereka akan memilah-milah buah kelapa. Mereka hanya akan menggunakan buah yang berkualitas. Buah kelapa yang diambil adalah yang telah matang secara sempurna dan dianggap memiliki sari yang bagus.
Pertama-tama kelapa tersebut akan dikupas sehingga kulitnya terpisah dari tempurung, kemudian memisahkan lagi isi dari tempurungnya.
Proses selanjutnya adalah tahap pemarutan yang dilakukan di hari selanjutnya. Sekitar jam sepuluh pagi para perempuan Julukana telah datang di tempat yang sama. Satu per satu berdatangan dengan menggenggam alat parutnya masing-masing setelah menyiapkan sarapan untuk keluarga serta mengurus urusan rumah tangga lainnya.
Dengan banyaknya alat parut, kelapa yang berjumlah cukup banyak itu bisa diparut dalam waktu yang singkat. Proses itu dihadiri oleh Dg Sompa’, Dg Baji, Dg Sangnging, Ibu Dg Nga’go, Saerah dan Ibunya, serta Dg Lebang.
Dalam kegiatan memproduksi itu para ibu-ibu, perempuan muda, dan anak-anak kecil sesekali bersenda gurau, suasana jadi riuh. Pekerjaan-pekerjaan itu diselingi tawa dan obrolan topik-topik hangat di kampung. Sayangnya, meski bisa berbahasa konjo, beberapa hal tetap sulit saya pahami.
Proses berikutnya, yang dilakukan adalah memasak air hingga mendidih. Air yang telah mendidih itu lalu dicampur dengan air dingin biasa sehingga airnya menjadi sekadar hangat saja. Ini dimaksudkan untuk menambah daya peras sari-sari kelapa.
Air hangat itu kemudian dituangkan pada kelapa yang telah diparut sebelumnya pada baskom berukuran lumayan besar, lalu kemudian diaduk-aduk sebelum akhirnya diperas menggunakan kain. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga sari-sari kelapa itu diperkirakan telah terperas habis dan terpisah seluruhnya dari ampas parutan.
Lalu, menurut Saerah, dari situ akan dibutuhkan waktu setidaknya dua belas jam hingga minyak dan air yang telah diperas benar-benar terpisah. Minyak yang terpisah itulah yang akan menjadi VCO.
Tantangan-tantangan produksi VCO
Produksi VCO bukanlah proses yang mudah. Sepertinya gampang ketika hanya membaca dan mengikuti langkah-langkah yang terlihat ringkas itu, namun siapa sangka jika peluang gagalnya selalu ada. Belum lagi tantangan-tantangan lain yang tidak bisa dikendalikan.
Dalam obrolan bersama ibu-ibu Julukana, mereka mengatakan bahwa dalam memproduksi VCO itu sangat bergantung sekali pada cuaca. Ketika musim hujan biasanya kebanyakan gagalnya dibanding ketika cuaca panas atau kemarau.
Hal tersebut sangat terasa di awal-awal mereka mempelajari pembuatan VCO. Dari beberapa kali percobaan, beberapa kali juga mengalami kegagalan.
Proses yang kami ikuti sebelumnya, misalnya, setelah beberapa hari ternyata belum berhasil membuahkan hasil. Proses pemisahannya mengalami kendala-kendala. Saerah yang kami temui juga kurang tahu persis penyebabnya.
Sebagai orang yang baru melihat dan mengikuti proses itu, saya mengira bahwa proses ini telah selesai sampai di situ. Namun, Saerah menambahkan, minyak yang dihasilkan dari proses itu masih bisa dimanfaatkan dan diolah menjadi minyak goreng.
Jadi, dari proses yang belum berhasil itu, hasilnya masih bisa dimanfaatkan ke dalam bentuk lain. Di sisi lain, ini mungkin akan membuka peluang-peluang untuk terus mempelajarinya.
Meski demikian, proses belajar yang membutuhkan waktu tak sebentar itu, sebenarnya beberapa kali telah berbuah hasil. Di beberapa pertemuan tersebut mereka menyampaikan bahwa telah berhasil memproduksi VCO sebelumnya.
“Bulan lalu juga pernah jaki bikin, jadiji tujuh botol,”
kata Dg Sangnging.
Sebulan sebelum kami berkunjung, mereka telah berhasil membuat VCO sebanyak tujuh botol kemasan yang masing-masing berisi 100 ml. Itu diiyakan oleh ibu-ibu lain saat pertemuan. Oleh Saerah, di beberapa kesempatan terpisah, juga sempat memperlihatkannya.
***