Bauluang, begitu sebutan salah satu pulau kecil yang berlokasi di wilayah Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Pada pertengahan tahun 2023 ini, saya bersama seorang rekan, Irwan, berkesempatan mengunjungi pulau tersebut. Bagi saya, ini kali kedua setelah kunjungan belajar tahun 2021 lalu. Cerita yang tersaji di sini, sepenuhnya hasil belajar tentang penghidupan masyarakat pesisir, terutama kelompok perempuan pesisir.
Siapapun yang ingin ke pulau ini bisa ikut di kapal milik nelayan atau jolloro’. Biasanya, para nelayan menepikan kapal di area Pelabuhan Bo’dia, Galesong Utara. Ada pula di Dermaga Parappa di Takalar. Di dua tempat itu, kapal-kapal nelayan Bauluang akan berlabuh jika hendak ke darat, tergantung tujuannya saja hendak ke mana. Dalam sekali perjalanan ke Bauluang, akan memakan waktu satu jam atau lebih tergantung cuaca.
Kami singgah di Pulau Satangnga terlebih dahulu. Dari sini hanya butuh beberapa menit untuk menyeberang ke Pulau Bauluang dengan jalepa. Setelah kapal mulai mendekat ke tepi Pulau Bauluang, nampak pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi dan bakau yang rimbun menjadi pemandangan awal yang bisa dilihat mata. Tampak juga rumah-rumah warga tertata memanjang mengikuti bentang pesisir pulau.
Di pulau ini, kami diberi kesempatan berharga untuk tinggal beberapa hari di rumah panggung milik Nenek Hayati yang biasa juga disapa Dg Sangnging (58 tahun). Sewaktu tiba di rumahnya, ia memeluk saya erat setelah memberi salam dan menjabat tangannya. “Lamamu baru ke sini lagi, Ical,” ucapnya membisik.
Tak lama setelah pelukan itu ia lepas, air matanya ia usap dengan daster yang dipakainya. Kami lalu dipersilakan membawa naik dan menaruh barang bawaan di rumahnya. Di terasnya, ia bersama Dg Tomming, Dg Nga’go, Juni dan Saerah berbagi cerita dengan kami.

Dari situ, kami mulai mendengar beragam cerita tentang Bauluang dan beragam aktivitas sehari-hari warganya.
Aktivitas Perempuan dalam Penghidupan di Kampung
Selang sehari berada di Bauluang, saya dan Irwan memenuhi panggilan untuk menikmati kopi dan pisang goreng olahan Dg Sangnging, sajian yang melengkapi obrolan pagi itu bersamanya. Di depan rumahnya, beberapa perempuan cukup sering berlalu-lalang. Di atas kepala mereka terdapat sarung melingkar yang menopang sebuah ember atau baskom berisi air di atasnya.
Air yang biasanya dijunjung merupakan air bersih untuk kebutuhan minum di rumah. Meskipun terdapat sumur air tawar di beberapa rumah, biasanya jarang digunakan untuk minum. Mereka tetap ke lokasi pengambilan air bersih yang agak berjarak dari pemukiman. Salah satunya, sumur yang berlokasi di bekas area panel surya.
“Baguski itu sumur ia. Ndak pernahki asin airnya. Banyaknyami itu ambil di sana air, na biar musim kering tetapji banyak airnya,”
ungkap Dg Sangnging.
Ungkapan itu seperti menunjukkan hubungan akrab antara ia dan sumber air di pulau itu. Sebagai perempuan sulung di keluarga, sejak usia kanak-kanak ia telah rutin menemani Ibunya, Dg Bacce, untuk mengambil air di sumur itu. Memang, sumur itu telah menjadi salah satu sumber air bersih untuk banyak generasi di Pulau Bauluang.
Selain mengambil air, perempuan di Bauluang mempunyai beberapa aktivitas lain. Di musim barat, pantai akan mulai dipadati oleh mereka, utamanya di pagi hari. Biasanya, mereka akan mencari tangkapan laut. Mulai dari kerang-kerangan, kepiting maupun beberapa jenis ikan sebelum air laut kembali pasang naik. Hasilnya, banyak ditujukan untuk pangan harian rumah tangga.
Kerang adalah salah satu yang cukup sering diperoleh, jenisnya pun ada banyak. Selain untuk pangan harian, kerang jenis biri-biri biasanya akan dipisah dari jenis lainnya dan kemudian dikumpulkan. Apabila jumlahnya banyak, biri-biri tersebut dapat dijual, jika tidak, biasanya akan dikonsumsi saja.
Meski begitu, menurut Dg Sangnging, kini perubahan musim yang susah ditebak membuat ragam pangan laut seperti kerang yang jenisnya ada belasan, kepiting, serta ikan-ikan kecil yang dulu mudah ditemui di bibir pantai, makin sulit ditemui. Keharusan menjaga bahan dapur dan pangan harian keluarga agar bisa tetap terpenuhi, mendorong perempuan memikirkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan harian.
Bertani
Saat ini beberapa perempuan ikut bekerja pada petani rumput laut sebagai buruh pasang bibit rumput laut. Menurut Dg Sangnging, pekerjaan ini lumayan baru di Bauluang. Biasanya, pekerjaan ini lebih banyak melibatkan para perempuan dari kalangan remaja dan ibu-ibu yang masih tergolong muda. Sebagai buruh pasang bibit rumput laut, para pekerja biasa diupah sekitar Rp5.000 per tali bentang yang dikerjakannya.

Pekerjaan ini dianggap tidak begitu ketat. Jika senggang, sewaktu-waktu bisa dilakukan. Hal ini membuat ikatan kerja antara para pekerja dengan pemilik rumput laut juga jadi agak longgar. Bagi siapapun yang ikut serta dalam pemasangan bibit, pemilik rumput laut akan membayar jasa sesuai jumlah tali bentang yang telah dipenuhi bibit baru. Dengan begitu, pekerjaan lain seperti mengangkut air bersih, memasak, menjaga anak maupun memberi makan dan minum untuk ternak sapi tidak akan terganggu.
Sementara itu, ada pula yang mengisi waktu paginya di sawah untuk merawat padi atau tanaman lainnya.
Dari tuturan warga, pada bulan Desember hingga Maret ditandai sebagai musim barat. Biasanya, musim ini ditandai juga dengan seringnya hujan. Menyambut itu, beberapa warga akan mulai menanam padi di atas lahan yang lumayan luas.
“Sekarang ini, lahan di Bauluang yang bisa ditempati menanam itu sekitar 50-an Ha. Tapi 37 Ha yang produktif untuk ditanami padi,”
ungkap Dg Lira.
Lahan persawahan ini dibuka sejak 1995. Tahun itu, warga bekerja sama membersihkan lahan dari ilalang dan tumbuhan liar lainnya. Kemudian menanaminya dengan kapas. Beberapa bulan menunggu kapas tumbuh, ternyata pertumbuhannya kurang baik dan lantas kemudian digantikan padi. Sejak 1996 hingga sekarang, hasil padi telah dikonsumsi rutin. Di lahan ini jugalah perempuan menghabiskan waktu bersama suami dan keluarga ketika merawat padi.
Di musim timur, dari April hingga September, lahan tadi akan ditanami oleh warga dengan umbi-umbian. Peran ini juga sering dilakukan perempuan, menyusul perginya suami mereka mencari telur ikan terbang atau attorani. Tanaman seperti ubi jalar, ubi ungu serta kacang-kacangan menjadi pilihan utama untuk ditanam. Hasilnya kadang dijual ke sesama warga pulau ataupun ke pengepul di Galesong.
Dalam satu waktu, saya menenami saudari ipar Dg Sangnging beserta kedua putrinya menuju lahannya. Di sana, saya berkesempatan melihat proses pembedengan dan cara memilih bibit ubi jalar yang akan ditanam. Pekerjaan ini sepenuhnya dilakukan olehnya yang juga melibatkan kedua putrinya. Menurutnya, harga sekarung ubi jalar bisa laku terjual sekitar Rp120.000. Sedangkan ubi ungu dihargainya Rp200.000 per karungnya.
Di sisi lain, beberapa perempuan tampak duduk di lahan dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang membersihkan lahan dari rumput liar, beberapa yang lain memetik buah kacang hijau dan lainnya lagi sedang mengatur posisi bibit padi yang tumbuh tidak mengikuti jalur.
Ia menambahkan, sisa lahan yang kurang baik untuk ditanami padi, terutama di musim penghujan, akan ditanami tumbuhan lain seperti kacang tanah. Sebagiannya lagi dibiarkan ditumbuhi ilalang sebagai pakan sapi nantinya.
“Kan sapi butuhki juga nasi toh. Bukan kita saja. Kalau ditanami semua, apa mau namakan sapi dia,”
tuturnya.
Selain umbi-umbian tadi, tanah di Bauluang juga ditumbuhi beragam jenis tanaman lain. Tumbuhan seperti pisang, pepaya, sayur kelor maupun kacang hijau bisa tumbuh dengan baik. Keempat jenis tanaman ini, biasanya diperuntukkan untuk memenuhi pangan harian rumah tangga.
Dalam suatu petang, rumah panggung milik Dg Bacce sedang ramai dipenuhi tetangga. Tak berselang lama, Dg Lebang terlihat berjalan menyusuri paving block dan kian mendekat ke rumah Dg Bacce. Tampak di tangan kanannya sedang memegangi sesisir pisang. Setibanya di rumah itu, ia lalu memberikan pisang yang telah matang itu pada pemilik rumah, sebelum akhirnya ia pamit dan lekas berbalik menuju rumahnya.
Dg Sangnging mengatakan bahwa di Bauluang buah pisang memang selalu menjadi buah yang diberikan secara cuma-cuma kepada tetangga terdekat. Ketika pisang telah dipanen, beberapa warga saling bergantian membagikan pisang-pisangnya dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Meskipun panenan buah pisang terkadang cukup banyak, beberapa warga memilih untuk membagikan hasil panen tersebut ketimbang menjualnya.
Olahan Tangan
Di samping bertani, beberapa perempuan terbiasa membuat olahan tangan dari bahan baku yang tersedia di pulau. Di Bauluang, mereka sering membuat tappere (tikar pandan) dan baku’ (bakul). Utamanya menjelang perayaan Maulid Nabi Muhammad. Keduanya berbahan dasar daun pandan yang telah dibilah-bilah, diwarnai, lalu dikeringkan selama beberapa hari. Dg Sangnging menuturkan, membuat tappere adalah kegiatan mengisi waktu di rumah.
Untuk ukuran 2×1 meter, tappere dapat dianyam selama tiga hingga empat hari. Tappere buatannya biasanya laku terjual dengan harga Rp80.000 hingga Rp200.000. Harganya tergantung pada ukuran dan jumlah bilah pandang yang digunakan. Tapi terkadang, jika tak begitu mendesak ia tak perlu membuatnya.
“Nanti ada pi pesan baru dibikin. Biasa juga ji kalau tappere dibawa ke Galesong kalau ndak ada sekalimi bisa dimakan,”
sambungnya.
Para perempuan juga membuat pattongko’ dan bantal. Kedua buah tangan ini pun cukup laku terjual dan masih menjadi pilihan utama sebab mudah dibuat. Pattongko’ merupakan atap rumah berbahan dasar daun kelapa, biasanya terjual Rp2.500 untuk per lembarnya. Meski kini pattongko’ telah tergantikan seng, sebagian warga masih memanfaatkannya untuk mengatapi kandang sapi yang cukup banyak dipelihara di Bauluang. Sementara bantal yang memanfaatkan bahan baku kapuk itu biasanya akan dipasarkan ke Galesong.
***