“Hanya melalui komunikasi kehidupan manusia dapat memiliki makna.”
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas
—
Pada tulisan ini, saya akan berbagi cerita berdasarkan pengalaman pribadi. Cerita yang saya tuliskan ini tentang proses perjalanan saya belajar tentang suatu metode penelitian lapangan yang disebut listening survey atau survei mendengar. Tentang bagaimana dan dimana saya belajar, dan bagaimana saya melakukan praktik belajar lapangannya. Selama proses belajar itu, terdapat perasaan yang berkesan, tantangan, dan juga rasa penasaran. Hasil refleksi dari proses itulah yang saya bagi melalui tulisan ini.
Bagaimana dan dimana saya belajar tentang metode listening survey?
Training for Transformation (TFT) merupakan ruang bagi siapapun yang memiliki minat belajar tentang ‘perubahan’ yang dimulai dari diri sendiri hingga masyarakat yang lebih luas. Pelatihan dengan tagline “Belajar Bertindak Setara” ini dimulai pada tanggal 25 Juni sampai 1 Juli 2023. Pelatihan ini melibatkan 20 partisipan yang dilakukan secara tatap muka di Desa Pao, Kabupaten Gowa.

Selebihnya, pelatihan dilakukan secara online untuk terhubung dengan partisipan lain dari berbagai negara seperti Angola, Mozambique, Zimbabwe, Nigeria Selatan, Zambia, Rwanda, Afrika Selatan, India, Tanzania, serta Uganda. Sementara itu partisipan di Indonesia terdapat di dua wilayah, yaitu Sulawesi Selatan dan Papua Barat.
Dalam pelatihan ini ada banyak sesi menarik yang dikemas dalam bentuk diskusi, bedah film dokumenter dan puisi, hingga games, dan lainnya. Tapi yang berkesan dalam proses belajar di TFT bagi saya adalah sesi materi dan praktik listening survey (survei mendengar).
Pada praktik survei mendengar, seluruh partisipan dibagi menjadi 10 kelompok yang masing-masing terdiri dari 2 pasangan partisipan. Kemudian masing-masing pasangan mengambil jarak dari forum.
Tiap partisipan lalu diberi waktu 5 menit untuk bercerita, sementara yang lainnya fokus mendengar dan dianjurkan tak memotong cerita. Tiap orang bisa menceritakan dan membagi informasi tentang dirinya atau pengalamannya yang sebelumnya orang lain tak tahu, lalu itu diceritakan kembali oleh pasangannya. Hal itu dilakukan secara bergantian. Ini dilakukan untuk melatih kepekaan dan fokus dalam mendengar dan menumbuhkan empati.
Setelah proses itu, kami kembali ke forum dan mendiskusikan pelajaran apa saja yang bisa diambil dari praktik itu. Para partisipan juga diminta menyampaikan perasaannya setelah bercerita dan mendengar sesuatu yang baru dari orang lain. Sebagian besar partisipan, termasuk saya, akhirnya menyadari bahwa seringkali kita hanya ingin didengar namun seringkali pula kita tidak punya minat mendengar orang lain dengan serius.
Fasilitator kegiatan kemudian membagi kelompok baru untuk praktik survei mendengar. Tetapi, kali ini survei mendengar dilakukan secara langsung di lapangan, di tengah-tengah masyarakat. Kelompok saya memilih melakukannya dan menyebar dalam kelompok-kelompok kecil di Dusun Bahoturungang, Desa Mamampang, Kecamatan Tombolo Pao, Gowa.
Saya bersama beberapa teman yang lain kemudian mengunjungi sebuah rumah salah seorang warga. Seorang perempuan muda berkulit kuning langsat dengan baju berwarna biru mempersilakan kami duduk di kursi ruang tamunya. Di mejanya terdapat toples yang berisi kue dan air gelas mineral, tampaknya itu memang selalu disediakan untuk tamu yang berkunjung.
Berselang beberapa waktu, ia lalu membawa keluar minuman berupa syrup lalu menuangkannya ke dalam gelas yang juga telah disediakannya.
Ia mempersilakan kami untuk minum, setelah itu ia duduk tepat di hadapan kami. Dari situ kami berkenalan lalu menyampaikan jika kami sedang dalam proses belajar dan dari obrolan-obrolan saat itu juga akhirnya kami tahu kalau namanya adalah Sugianti. “Tetapi orang-orang di sekitar rumah memanggilku, Sugi,” katanya pada kami.
Tak begitu lama, ia mulai menceritakan beberapa kisahnya. Perempuan berusia 19 tahun itu rupanya berasal dari kampung halaman yang berbeda, yaitu Kabupaten Sinjai. Di sana ia mengenyam pendidikan hingga ke Sekolah Menengah Pertama. Ia telah tinggal menetap di desa ini setelah menikahi suaminya yang merupakan warga setempat.
Cerita Sugi berlanjut. Sebelum menikah dengan suaminya, pada awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lain dan tidak memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan. Perkenalan keduanya justru diperantarai oleh tetangga suaminya.
Setelah pernikahannya, ia sempat tinggal di rumah mertua bersama suaminya untuk sementara waktu. Namun pada akhirnya ia memutuskan untuk membangun rumah sendiri. Rumahnya tak jadi begitu saja, ia membangunnya sedikit demi sedikit. Ia terlibat dalam banyak hal untuk menyelesaikannya. Ia dan suaminya menanam cabe, tomat, dan padi, serta beternak sapi. Pekerjaan itu ia lakukan di samping pekerjaan-pekerjaannya di dalam rumah.
Usaha-usaha yang dilakukannya bersama suaminya dalam memenuhi kebutuhan dasar keluarganya setelah menikah di usia yang cukup muda menjadi cerita yang melengkapi perbincangan hari itu.
Dari situ saya bisa mempelajari banyak hal, dari bagaimana mereka memutuskan dan merencanakan membangun rumah, bagaimana proses penghidupannya, apa saja yang dilaluinya di kampung, hal-hal yang mengkhawatirkan dan bagaimana mereka menemukan jalan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
Proses belajar dan praktik lapangan survei mendengar ini masih berlanjut hingga beberapa bulan kemudian. Saya dan beberapa teman melakukannya di Pulau Satangnga.
Proses belajar survei mendengar di Pulau Satangnga
Pada tanggal 29 Agustus 2023, saya beserta teman-teman yang lain berkunjung ke Pulau Satangnga, Kepulauan Tanakeke, Takalar. Kami berkunjung ke rumah Daeng Tika, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas, Jagad Samudera, di rumahnyalah kami diberi kesempatan untuk tinggal selama proses survei mendengar.
Setelah cukup beristirahat kami lalu bergegas ke rumah Daeng Sugi, ketua organisasi perempuan Passe’reanta. Di sana beberapa perempuan muda telah berkumpul untuk melakukan pertemuan awal.

Pertemuan ini diawali dengan obrolan santai. Seperti biasa, kami akan memulai obrolan dengan sebuah perkenalan. Hari itu kami bersama dengan Hasnia, Nanne, Salma, Patih, dan Siti.
Dalam obrolan itu mereka mulai membahas beberapa hal tentang kampungnya dan hal-hal yang mereka khawatirkan. Setidaknya, dari pertemuan itu kami juga mulai menangkap beberapa hal yang dianggap mengkhawatirkan, salah satunya yaitu persoalan ‘gosip-gosip’ yang seringnya tertuju pada pemudi-pemudi Satangnga.
“Gosip yang hadir biasanya seputar pacaran dari remaja-remaja yang ada di pulau, juga penampilan seperti baju,” kata Siti Aisyah.
Pergosipan ini menjadi salah satu hal yang dianggap agak membatasi ruang gerak dan kepercayaan diri bagi beberapa perempuan muda atau remaja di pulau.
“Sebenarnya mengganggu mental. Karena tidak semua aktivitas remaja keluar rumah untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Itu mengurangi kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu,” kata Siti Aisyah. “Apalagi anak perempuan yang dilihat oleh tetangga keluar bersama laki-laki. Biasanya ini akan menjadi perbincangan tetangga,” tambahnya.
Keesokan harinya, pertemuan kembali dilakukan, kali ini di rumah Daeng Puji. Beberapa pemudi lain turut hadir, seperti Putri dan Hawa, serta Hatira di pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Berdasarkan obrolan-obrolan hari itu, beberapa perempuan dan pemuda di Satangnga memang telah menikah di usia yang cukup muda. Selain karena perjodohan dan keinginan sendiri, biasanya langkah itu diambil keluarga untuk menghindari gosip-gosip di antara mereka.
“Gosip-gosip soal itu yang membuat khawatir orang tua apalagi anak perempuan,” ungkap Hasni.
Di pertemuan kali ini memang obrolan tentang ‘gosip’ masih berlanjut, namun beberapa hal mengkhawatirkan lainnya juga dibahas, yaitu terkait sampah-sampah di bibir pantai Satangnga.
Daeng Puji lah yang membahas beberapa hal terkait sampah ini. Menurutnya, saat itu tumpukan sampah di bibir pantai sudah cukup mengkhawatirkan. Sampah-sampah itu memang bisa terlihat saat kita berjalan menyusuri pantai Satangnga. Banyak juga yang tersebar ke sela-sela padang lamun. Menurut Daeng Puji, sampah-sampah ini berasal dari Pulau Satangnga sendiri, kemudian ditambah lagi sampah kiriman dari luar yang dibawa oleh arus laut.
Dari proses survei mendengar selama tiga hari ini, saya dapat mengambil pelajaran, bahwa beberapa anak-anak muda, khususnya perempuan, mempunyai beberapa keresahan, terutama yang dianggap dapat membatasinya dalam bersosialisasi dan mengembangkan potensi diri. Kemudian, orang-orang di pulau juga mulai menyoroti keberadaan sampah di pesisir.
Sebagai refleksi, metode survei mendengar juga melatih kepekaan saya untuk fokus kepada teman berbicara (informan kunci) dan cerita-ceritanya. Saya mulai mengandalkan ingatan bukan catatan ataupun rekaman. Dengan itu juga saya mudah berbaur, baik itu dengan anak muda, ibu-ibu, maupun bapak-bapak.
Ketika bertemu dengan masyarakat untuk melakukan sebuah penelitian, metode ini sangat membantu, bukan hanya untuk memperoleh informasi, tapi dalam prosesnya yang cair, kita masing-masing bisa mengakrabkan diri dan saling terbuka dalam berbagi cerita. Kita bisa membicarakan banyak hal-hal biasa, seperti obrolan harian.
Di pelatihan sebelumnya, saya mempelajari bahwa dengan metode ini, kita akan lebih fokus mendengarkan percakapan yang tidak terstruktur. Kita tidak dipandu secara kaku oleh pertanyaan-pertanyaan penelitian. Percakapan biasa juga membuat orang mulai merasa santai dan nyaman berbicara sekalipun itu tentang hal-hal yang paling mereka khawatirkan.
***