Kami bersama Daeng Bau dan suaminya, Daeng Tika, sedang mengobrol di teras rumahnya sejak sore. Rumah mereka tidak jauh dari tempat kapal-kapal nelayan biasanya bersandar di Pulau Satangnga, Kepulauan Tanakeke, Takalar.
Di teras yang dingin sebab selalu ditiup angin laut itu, Daeng Bau bercerita tentang beberapa produk yang telah diproduksi oleh komunitas Passe’reanta, di mana ia merupakan salah satu penggerak di dalamnya.
Tak berselang lama, Daeng Sugi datang dari balik rumah itu dan turut bergabung dengan kami di teras. Ketua Passe’reanta itu menghampiri kami yang saat itu datang untuk belajar tentang masyarakat pesisir di Pulau Satangnga, tepatnya 11 Juni 2023. Ia membahas beberapa hal, termasuk desain stiker kemasan yang akan digunakan pada beberapa produk olahan komunitasnya.
Menurut Daeng Sugi, di samping desain stiker kemasan, yang dibutuhkan saat itu adalah beberapa sertifikasi untuk produk olahannya. Salah satu yang cukup mendesak saat itu adalah sertifikasi PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) untuk beberapa produknya. Salah satunya adalah VCO (Virgin Coconut Oil).
Hal itu dibutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan diri komunitas dan kepercayaan orang-orang pada kelayakan dan kualitas produknya. Apalagi, VCO telah menjadi salah satu produk andalan mereka.
Ada beberapa cerita terkait upaya-upaya Passe’reanta dalam mengembangkan VCO dan juga produk lainnya, dan cerita-cerita berikut adalah sebagian cerita dari banyak proses yang mereka telah alami dan lalui.
VCO adalah Buah dari Proses Belajar
Passe’reanta merupakan organisasi produksi yang dibentuk oleh sekelompok ibu-ibu di Pulau Satangnga pada awal 2022 lalu. Sejak itu juga mereka mulai mempelajari dan mengembangkan sebuah produk: VCO.
Produk ini memungkinkan untuk dikembangkan sebab bahan-bahan dasar utamanya, yakni kelapa, tersedia di sekitarnya. Kelapa bisa dijumpai di Pulau Satangnga, maupun di pulau tetangganya, Bauluang.
Pada awalnya, yang mereka perlukan adalah sebuah cara yang cocok dalam membuatnya, sebab ternyata, membuat VCO bukanlah proses mulus yang langsung membuahkan hasil. Kalau mendengar tuturan Daeng Sugi, proses pembuatan VCO itu digambarkan seperti proses mencoba berulang-ulang, terus-menerus. Prosesnya di awal seringkali belum berhasil. Karena itulah ia dan rekan-rekannya masih terus mempelajarinya.
Proses pertukaran produk VCO dan berbagi pengalaman dengan komunitas perempuan di Papua Barat—yang difasilitasi tim Satukata—sebelumnya dinilainya sangat membantu. Saat itu, ia merasakan perbedaan kualitas buatannya dengan VCO buatan ibu-ibu di Papua Barat. “Beda mantong i tawwa,” kata Daeng Sugi.
Sejak itu ia dan rekan-rekannya kemudian mempelajari cara-cara untuk mencapai kualitas VCO Papua Barat, hingga akhirnya merasa telah menemukan sebuah cara yang dianggap cukup pas. Meski begitu, ia tak menutupi bahwa sampai sejauh ini pun, terkadang masih saja ada yang gagal jadi, sebab VCO bergantung pada beberapa hal, baik di saat persiapan maupun di saat proses pembuatannya.
VCO akan sangat bergantung pada kualitas kelapa. Karenanya, Daeng Sugi dan rekan-rekannya akan memerlukan banyak waktu hanya untuk memilah-milah kelapa. “Tidak sembarang tong itu kelapa dipake,” katanya.
Menurutnya, kelapa yang diambil tidak harus kelapa muda untuk tujuan menyimpannya hingga tiba saatnya akan dipakai. Hal itu karena adanya risiko kelapa itu justru akan membusuk dan tidak layak digunakan sebagai bahan dasar VCO.
“Itu biasa kalau kelapa muda kita simpan biasa lukaki, berbau. Kalau orang ‘dulu’ bilang, jappo’ki,” kata Daeng Sugi.
Selain itu, VCO juga bergantung pada cerah tidaknya cuaca. Jika sedang hujan akan dipastikan peluang gagalnya sangat besar. Jangankan hujan, menurutnya, di saat mendung pun itu sudah cukup menyulitkan. Ia butuh cuaca yang cerah. Yang lebih menyulitkan lagi adalah cuaca makin sulit diprediksi. Meski demikian, Passe’reanta telah berhasil melalui beberapa proses produksi yang membuahkan hasil.
Apa yang diceritakan Daeng Sugi ini sekaligus menggambarkan jika dalam proses pembuatan VCO, butuh beberapa kecakapan, kehati-hatian, ketelitian, dan juga kadang-kadang insting yang kuat dalam memprediksi cuaca yang mendukung.
Keputusan Dibuat dan Didiskusikan Bersama
Dalam satu kesempatan lain, di pertengahan tahun 2023 ini, kami datang saat cuaca sedang cerah di Satangnga. Saat itu beberapa pengurus Passe’reanta sedang berkumpul di rumah Daeng Sugi yang kabarnya telah dipersiapkan sebagai rumah produksi komunitas. Waktu itu pesanannya telah datang: stiker kemasan VCO yang telah tertera nomor PIRT dan mesin parut listrik.
Mereka juga baru saja memproduksi VCO. Minyak yang telah jadi sebanyak satu cerek itu dibawanya keluar. Daeng Sugi nampak sangat hati-hati menuangnya ke dalam beberapa botol kemasan 100 ml itu. Ibu-ibu lainnya memasang desain kemasan pada botol-botol tersebut.
Salah seorang penggerak Passe’reanta yang merupakan seorang pria, Daeng Patta, juga terlibat bersama ibu-ibu yang lain dalam proses itu. Hari itu, hasil produksi yang bisa dikemas ada sekitar 10 botol. Di tengah-tengah proses itu mereka saling berdiskusi satu sama lain.
Sembari mengamati dan memeriksa mesin parut listriknya, saat itu mereka juga mencari tahu dan mendiskusikan seberapa besar daya listrik yang akan digunakan oleh mesin itu dan seberapa bagus kemampuan mesin tersebut dalam memarut kelapa. Mereka terlihat sedang mengukur-ukur dan menyesuaikan antara besaran daya yang akan digunakan dengan seberapa efektif mesin itu jika digunakan dalam proses produksi.
Selain itu, mereka juga mendiskusikan keuangan komunitas. Buku besar dikeluarkan dan pencatatan kemudian dilakukan secara manual. Mereka membahas secara terbuka pengeluaran dari kas komunitas yang diperoleh dari produksi sebelumnya, mengecek sisa saldo, dan kemudian merefleksikan keputusan bersama pembelian alat produksi baru itu.
Dari situ terlihat bahwa setelah membuat keputusan-keputusan tertentu, setidaknya telah ada keterbukaan dan ruang untuk mendiskusikannya bersama-sama. Ini mungkin juga ada kaitannya dengan pertanggungjawaban bersama, sebab aset keuangan Passe’reanta saat memulai proses produksinya, itu diawali dengan inisatif bersama melalui ‘patungan’, mereka tak mengharap akan banyak bantuan datang dari luar.
Di waktu yang berbeda, kami turut menyaksikan dan dilibatkan dalam memasang stiker kemasan produk lainnya, yaitu Salonde. Kopi panas dan beberapa hidangan disajikan saat itu, salah satunya adalah kripik sukun.
Salonde dan Kripik Sukun
Selain VCO, Passe’reanta juga memproduksi produk lain, yaitu Salonde dan kripik sukun. Salonde adalah makanan yang pertama kali kami coba, terutama setelah ke Pulau Satangnga. Rasanya baru sekaligus enak. Sementara bagi Daeng Sugi, Salonde ini memang disukai oleh orang-orang yang telah mencoba dan membelinya, terutama di Pulau Satangnga. Ia sangat bersyukur atas tanggapan-tanggapan itu. Saat itu Salondenya dihargai Rp30.000 per kemasannya.
Tampilan Salonde ini sebenarnya mirip dengan abon ikan-kelapa atau sarundeng ikan. Namun, warnanya lebih cerah, agak lebih putih ketimbang abon-abonan dan sarundeng yang kekuningan. Daging ikan yang merupakan salah satu bahan bakunya, tidak berwarna kontras atau gelap. Warnanya seperti menyatu dengan parutan kelapa yang merupakan salah satu bahan utamanya. Daeng Sugi mengatakan bahwa itu karena Salonde hanya menggunakan daging ikan tertentu.
Meski Salonde sangat bergantung pada bahan baku ikan, menurutnya, saat merefleksikan pengalamannya kembali, bukan sembarang ikan yang bisa digunakan, sebab akan berpengaruh pada rasa dan warnanya. Jenis ikan yang cocok hanya ikan katamba’, karena daging ikan cakalang akan berwarna hitam. Menurutnya lagi, ikan cakalang lebih cocok jika dijadikan bahan abon-abon.
Dalam menyiapkan bahan baku Salonde, tantangannya mirip dengan VCO. Saat cuaca menjadi sangat tidak menentu seperti saat ini, musim tangkap jadi lebih sulit diprediksi dan proses mencari bahan baku ikan tersebut akan mengalami kendala. Itu berarti bahan baku ikan ini pun sebenarnya tidak akan selalu tersedia.
Tantangan berikutnya, ada kaitannya dengan proses pembuatan. Ke depan, keterampilan membuat Salonde ini diharapkan merata ke semua penggerak komunitas.
Sementara itu, produk lain yang juga tengah dikembangkan oleh Passe’reanta adalah kripik sukun atau dalam bahasa setempat disebut sebagai karoppo bakara. Kripik sukun ini termasuk salah satu produk yang paling awal dibuat dan dipelajari oleh Daeng Sugi. Menurutnya, kripik sukun ini juga sangat disukai oleh orang-orang.
Kini kripik sukun yang diproduksi Passe’reanta telah memiliki beberapa varian rasa. Dari rasa balado, keju, hingga jagung bakar. Bumbu tabur Antaka digunakan untuk memberi cita rasa yang beragam itu. Satu varian lagi adalah rasa original yang sengaja dibuat tanpa bumbu tabur Antaka.
Memproduksi kripik sukun ini juga memiliki beberapa batasan. Kripik sukun hanya ada beberapa kali musim buah dalam setahun. Ini membuat kripik sukun menjadi sebatas produk musiman bagi Passe’reanta. Sementara tantangannya adalah perawatan buah sukun setelah panen butuh perhatian dan perlakuan tersendiri, karena waktu yang dimiliki hanya sebentar saja.
Daeng Sugi mengatakan jika sukun ini merupakan buah yang tidak bisa disimpan terlalu lama dan termasuk buah yang mudah rusak atau bonnyo’. Jarak antara waktu panen atau setelah dibeli dengan proses produksi akan baik jika lebih pendek. Dengan mengenali tantangan-tantangan ini, Passe’reanta mungkin akan lebih mempersiapkan produksinya jauh lebih baik dan terhindar dari kerusakan-kerusakan bahan baku utama ke depannya.
***