Tulisan sederhana ini merupakan hasil dari proses belajar bersama-sama dengan organisasi perempuan di Pulau Satangnga, Takalar: Passe’reanta. Dalam tulisan ini akan disajikan beberapa proses Passe’reanta dalam menangani urusan-urusan administratif yang terkait dengan kebutuhannya sebagai organisasi produksi, terutama yang paling mendesak dan penting saat itu, yaitu pengurusan sertifikasi PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga).
Mengapa mengurus PIRT penting?
Inisiatif penggerak Passe’reanta untuk mengurus PIRT merupakan buah dari refleksi mereka pada workshop yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2023. Dalam pertemuan itu, penggerak Passe’reanta melakukan refleksi untuk melihat hal-hal apa saja yang membahagiakan, mengapa itu bisa berhasil dan apa saja wujud keberhasilan yang bisa dilihat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di Organisasi Perempuan Mengelola Produksi Skala Rumahan: Pengalaman Passe’reanta.
Sebagai organisasi rakyat dan produksi, jalan Passe’reanta tentu saja dihadapkan dengan berbagai tantangan. Karena itu, setelah merefleksikan hal-hal yang membahagiakan sebagai bentuk apresiasi atas kerja, keringat, dan waktu yang diberikan oleh para penggerak Passe’reanta, mereka kemudian membahas tantangan dan tindakan apa yang harus mereka lakukan ke depannya.
Dari pertemuan itu, mereka menyusun beberapa hal yang akan dicapai ke depannya seperti memiliki alat produksi sendiri, produksi dan pemasaran yang meningkat, kerja sama penggerak meningkat, dan memiliki PIRT sebagai legalitas produk.
Sesuatu yang paling berkesan di hari itu, setidaknya untuk saya pribadi, adalah ketika ikut mengamati dan belajar langsung dari beberapa rangkaian proses itu. Utamanya saat mendiskusikan capaian terakhir mereka dalam forum tersebut, begitu pun saat mendiskusikan rencana kegiatan.
Saya masih ingat persis, saat muncul sebuah pertanyaan: Siapa yang akan pergi ke Takalar kota untuk mengurus PIRT?
Suasana tiba-tiba hening. Para penggerak Passe’reanta kemudian menanggapi pertanyaan tersebut dengan jawaban “Kami tidak tahu cara mengurus.” Mereka mengaku bahwa perempuan belum punya banyak pengalaman sebagaimana para lelaki di pulau.
Beberapa alasan yang mereka sebutkan di antaranya: Perempuan jarang keluar rumah (apalagi keluar kampung)—kalau pun perempuan keluar pulau harus ditemani oleh suaminya; perempuan sangat sibuk dalam urusan rumah tangga (seperti memasak, mencuci, dan merawat anak dan suami); dan perempuan tidak mendapat pendidikan sebagaimana para lelaki di pulau.
Diskusi waktu itu cukup alot untuk menemukan solusi atas apa yang dialami oleh para penggerak perempuan Passe’reanta. Namun, sebelum forum itu ditutup mereka sontak menjawab: Perempuan harus berani urus sendiri!
Daeng Sugi yang ditemani Daeng Patta akhirnya memberanikan diri untuk bersedia mengurus PIRT. Barangkali, keberanian Daeng Sugi ini mampu menjadi inspirasi bagi para perempuan penggerak Passe’reanta secara khusus dan kaum perempuan di pulau pada umumnya, saat itu atau di kemudian hari.
Proses pengurusan PIRT
Pagi itu (19/06/23), saya dan Ical bangun lebih awal dari biasanya, sekitar pukul 06.00 pagi. Sehari sebelumnya, kami mendapat kabar bahwa penggerak Passe’reanta, dalam hal ini Daeng Sugi (ketua) dan Daeng Patta (sekretaris) besok akan berangkat ke Kota Takalar untuk mengurus PIRT, sesuatu yang penting dan mendesak yang harus dikantongi Passe’reanta sebagai organisasi produksi.
Sekitar pukul 07.00 kami berdua berangkat dari Paccinongan, Gowa. Di sepanjang perjalanan, kendaraan cukup padat waktu itu. Kebanyakan pengguna jalan yang kami temui berseragam sekolah, ada juga yang berpakaian rapi, dan orang-orang yang hendak ke pasar untuk berbelanja.
Ketika matahari meninggi, kami akhirnya sampai di Kota Takalar dan bertemu dengan mereka. Dalam mobil yang mereka kendarai, terhitung ada tiga orang di sana. Ada Daeng Sugi, Daeng Patta, dan Bang Udin. Yah, cukup ramai. Kami berlima akan berkunjung dari satu kantor ke kantor lain untuk mengurus PIRT.
Pertama, kami datang di kantor Pajak Kabupaten Takalar. Di sana, Daeng Sugi duduk berhadapan langsung dengan pegawai di kantor tersebut. Sekitar 3 sampai 4 meter dari Daeng Sugi, saya dan Ical mengamati bagaimana Daeng Sugi berbicara langsung dengan pegawai yang melayani. Waktu itu, Daeng Sugi dengan ditemani sekertarisnya (Daeng Patta) sedang mengurus NPWP Pribadi dan NPWP Kelompok sebagai syarat administratif untuk penerbitan No PIRT.
Urusan di kantor Pajak cukup cepat dan terhitung lancar. Tak sampai 30 menit, urusan kami sudah kelar dan NPWP (Pribadi dan Kelompok) akhirnya terbit. Sebelum beranjak, Pegawai yang melayani beberapa kali menekankan kepada Daeng Sugi untuk datang setiap tahunnya dengan membawa laporan laba rugi.
Menurut pegawai yang bertugas, ada atau tidaknya bantuan yang diterima oleh Passe’reanta, laporan laba rugi harus tetap dilaporkan setiap tahunnya. Jika tidak, maka Passe’reanta akan dikenakan denda sebesar 1 juta per tahun.
Kantor kedua yang kami datangi adalah Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Takalar. Sesampainya di sana, dengan posisi yang sama, Daeng Sugi dan Daeng Patta berurusan langsung dengan pegawai-pegawai di sana, berhadap-hadapan. Satu-satunya benda yang mengantarai mata mereka hanya kaca bening.
Mereka mulai mengurus NIB (Nomor Induk Berusaha) siang itu. Tidak seperti pada saat mengurus NPWP, pengurusan NIB kami menemukan adanya kendala. Kendala yang dimaksud berupa ketidaksesuaian antara tanggal lahir Daeng Sugi dengan pendataan dirinya di Capil (Catatan Sipil).
Petugas yang melayani kami menyarankan agar Daeng Sugi pergi ke Kantor Catatan Sipil untuk melakukan sinkronisasi data. Karena itu, kami berangkat ke Capil dan pihak Capil menyarankan untuk mengikuti data terakhir yang terdaftar di Capil.
Tak lupa beberapa catatan diberikan pada Daeng Sugi agar ia membawa sejumlah persyaratan administratif, di antaranya adalah Ijasah terakhir, KTP, dan Kartu Keluarga. Meski demikian, usaha Daeng Sugi dan Daeng Patta membuahkan hasil: NIB sedang dalam tahap proses dan akan dihubungi kembali jika NIB dan PIRT sudah terbit.
Berselang beberapa minggu, kami mendapat kabar bahwa PIRT sudah terbit. Dan mereka sudah mencantumkan No. PIRT di produk yang dibuat oleh Passe’reanta.
Sebuah Refleksi
Dengan berbagai kendala-kendala yang dialami, seperti kesulitan dalam pemasaran produk dan sulitnya menjangkau pasar yang lebih luas (luar pulau), pada akhirnya memunculkan inisiatif bersama para penggerak Passe’reanta untuk membuat PIRT yang berangkat dari kesadaran bersama.
Bagi mereka, tantangan ini harus diselesaikan secepatnya. Berdasarkan hasil refleksi saat melakukan workshop, ada beberapa hal yang akan terjadi jika PIRT tidak ditangani secara serius dalam menjalankan organisasi.
Seperti kata mereka, jika produk yang mereka jual tidak cukup laku di pasaran akan berdampak pada pendapatan yang akan mereka dapat. Jika terus-terusan seperti itu, maka minat dan kemauan untuk berkumpul, berorganisasi, serta melakukan produksi mungkin juga akan ikut redup. Selain itu, sebagai penggerak Passe’reanta yang sebagian besar adalah perempuan, mereka khawatir akan sulit mendapatkan lagi izin dari para suami mereka.
Barangkali, pengalaman para perempuan penggerak Passe’reanta tidak sedalam pengalaman para lelaki di pulau. Tetapi, sebagaimana perkataan Daeng Sugi yang terus-menerus terngiang di kepala saya menjadi semacam mantra bagi para penggerak Passe’reanta dalam mencari pengalaman-pengalaman baru dan menemukan cerita-cerita baru yang lebih membahagiakan ke depannya. Begini katanya:
“Dicoba tak mengapa, gagal jadi pengalaman.”
Terakhir, sebagai bagian dari Cita Tanah Mahardika, organisasi yang menjadi mitra belajar Passe’reanta, saya mendapat pelajaran penting saat menemani proses pengurusan PIRT. Barangkali, mengurus PIRT bisa dilakukan tanpa adanya mereka langsung, kami hanya butuh persyaratan administratif yang harus mereka penuhi. Namun, proses tersebut adalah urusan yang mesti dilalui bersama oleh para penggerak Passe’reanta.
Terkadang, dalam kerja-kerja pengorganisasian, rentan disusupi sikap heroik. Menjadikan diri sebagai ‘seksi sibuk’ dengan mengambil dan mengerjakan banyak hal yang tidak sesuai porsinya. Dalam banyak kasus, ini dapat menciptakan ketergantungan.
Sebagai teman belajar, yang bisa kami lakukan hanya menemani. Segala keputusan mengenai organisasi Passe’reanta, termasuk inisiatif dan keputusan untuk membuat PIRT sepenuhnya lahir dari para penggerak Passe’reanta sendiri. Proses tumbuh jauh lebih penting dari hasil yang didapatkan secara terburu-buru.
***