Pertemuan tiga organisasi, yakni Passe’reanta, Jagad Samudera dan Cita Tanah Mahardika (CTM) yang berlangsung selama dua hari di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sul-sel telah usai dilaksanakan dan menyelesaikan beberapa agenda: lokakarya ekonomi rumah tangga dan menyusun rencana tindakan bersama komunitas untuk satu tahun ke depan.
Kegiatan tersebut lalu dilanjutkan dengan kunjungan belajar di Kebun Tetangga dan Artani Eco-friendly Bulk Store Makassar pada hari selanjutnya, Rabu (4/12/24). Hal ini merupakan bagian dari proses menumbuhkan pengalaman komunitas.
Hal ini juga terkait dengan peluang menambah dan mengeratkan jejaring belajar dan kolaborasi antar komunitas ke depan, oleh karena itu dirasa perlu melakukan pertemuan antar komunitas. Artani sendiri sebelumnya telah menjadi partner dalam hal penjualan produk komunitas Passe’reanta, namun ini kali pertama komunitas bertemu dan berdiskusi bersama secara langsung dengan pegiat Artani.
Sementara itu, kunjungan ke Kebun Tetangga juga pertama kalinya, kunjungan ini adalah proses belajar lanjutan dari kegiatan pelatihan kebun pekarangan yang sempat dilakukan di Pulau Satangnga beberapa bulan lalu yang difasilitasi Syukron, founder Kebun Tetangga Samata, Gowa. Selain itu, hal ini sekaligus diharapkan mampu memacu semangat baru bagi komunitas di Satangnga.
Melihat lebih dekat praktik pertanian alami Kebun Tetangga
Pada proses ini kami disambut langsung oleh Syukron dan beberapa orang pegiat kebun Tetangga lainnya. Ibu-ibu Passe’reanta terlihat cukup antusias pada kunjungan pertamanya di kebun yang sudah ditumbuhi banyak tanaman ini. Mereka kini bisa melihat langsung apa yang dikerjakan Syukron dan rekan-rekannya setelah sebelumnya hanya mendengarnya dari proses belajar kebun pekarangan di pulau.
Syukron menjelaskan kepada kami bahwa yang mereka lakukan di sini adalah praktik pertanian yang mencoba meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia sedikit mungkin atau bahkan tanpa bahan kimia dan memaksimalkan pemanfaatan sampah organik rumah tangga. Sampah makanan inilah yang kemudian diolah melalui teknik pengomposan untuk menghasilkan pupuk organik guna mencukupi kebutuhan nutrisi bagi setiap tanaman di kebunnya. Menurutnya, untuk keperluan pupuk organik, mereka bisa menghabiskan satu ton sampah rumah tangga per bulannya. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan sampah rumah tangga yang besar tersebut, mereka juga dibantu oleh suplai sampah dari beberapa perumahan.
Kami lalu diajak berkeliling kebun dan mempelajari bagaimana proses mengerjakan media tanam, pengomposan, hingga pembibitan dan bagaimana mereka menghubungkan peternakan dengan pertanian. Selain itu Syukron juga memperkenalkan beragam jenis tanaman yang mereka tanam, dari tanaman cabai, kangkung, bayam Brasil, bayam biasa, bunga telang, pisang, terong, timun, daun min, kangkung, pakcoy, selada, kelor, hingga labu.
Dalam kesempatan ini, Syukron menjelaskan beberapa proses penting dalam praktik pertaniannya. Pertama, proses pembuatan media tanam baru. Salah satu komponen pentingnya adalah sampah kering dari tumbuh-tumbuhan. Dalam bedengan buatannya terdapat banyak batang dan daun pisang yang sudah dicacah-cacah, selain itu terdapat juga daun-daun kering lainnya. Baru setelah itu akan dilapisi tanah baru pada bagian atasnya. Ia menyampaikan pada komunitas Passe’reanta dan Jagad Samudera kalau cara ini mungkin bisa berguna di Satangnga. “Kan tanah di pulau itu berpasir, nah ini fungsinya untuk menyimpan nutrisi,” tambahnya.
Kedua, proses penting lainnya adalah pembibitan. Dalam hal ini Kebun Tetangga mengunakan green house untuk mempermudah pekerjaan mereka. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bibit yang rusak sebelum dipindahkan ke bedengan atau ke lahan yang lebih luas. Selain itu, green house ini juga berfungsi sebagai pengatur suhu, sehingga bisa segera dilakukan penyesuaian apabila cuaca memburuk.
“Kami melakukan pembibitan di sini karena kalau hujan deras, langsung kami taruh di tanah kan rusak. Jadi mending kami taruh di sini dulu, nanti kalau sudah besar baru kami pindahkan ke tanah, dan karena di sini adalah ruang tertutup, kami hanya menjaga kelembapannya dan tidak memberi banyak air,” jelas Syukron.
Ketiga, proses yang tak kalah pentingnya adalah pengomposan. Proses inilah yang akan menghasilkan pupuk cair dan kering. Pupuk cair biasanya dihasilkan dari sisa makanan yang dituang ke dalam media ember (ember komposter) yang nantinya akan memisahkan cairan dan serat makanan (sampah padat). Pupuk cair ini biasanya dicampurkan dengan air biasa sebelum digunakan untuk menyirami tanaman. Penggunaannya juga tidak perlu banyak dan boros, satu botol mineral hanya memerlukan satu penutup botol pupuk cair yang dihasilkan. Sementara itu, sampah kering biasanya dikumpulkan dan dibiarkan membusuk sampai menjadi tanah.
Menurut Syukron, tanah yang tidak subur adalah kendala yang paling utama dalam pertanian, karena dapat menggangu pertumbuhan tanaman. “Sekarang, ketika tanah sudah tidak lagi subur kita sudah tidak punya akses untuk pindah menggarap dan mencari tanah subur yang lainnya,” ungkapnya. Satu hal yang paling mungkin bisa dilakukan adalah memikirkan bagaimana tanah menjadi subur dan memiliki banyak nutrisi yang diperlukan tanaman.
“Cara agar nutrisinya berlipat, yaitu dengan memfermentasinya, dan menurut saya ini bagus kita lakukan juga di pulau. Jadi kalau kita mau menanam, kita berpikir bagaimana tanah kita betul-betul subur, kalau tanah kita tidak subur akan berpengaruh pada tanaman,” tambahnya.
“Bagaimana caranya itu pak?” Tanya Daeng Sugi.
“Pertama, saya kumpul tanahnya dan mencampurnya dengan dedak, lalu ditutup dengan daun seperti membuat tempe, pertanyaannya, bagaimana membuatnya subur? Ya dengan mengomposnya dengan teratur, yaitu mencampurkannya dengan pupuk cair, gula merah, eko-enzim (fermentasi buah) yang nanti hasilnya akan berjamur,” jawabnya.
“Kalau misalnya dalam satu karung bisa digunakan untuk berapa tanaman?” tanya Daeng Puji menimpali.
Menurut Syukron, satu karungnya ia bisa gunakan sampai satu tahun untuk keperluan pupuknya di kebun. “Sedikit saja, misalnya satu pohon saja, itu cuma membutuhkan satu sendok. Jadi ini juga bisa dipakai untuk pengomposan, mencampurkannya dengan bahan kompos yang lain. Cuma memakai satu genggam saja dan membiarkan bakterinya menyebar sendiri dan satu karungnya sudah bisa saya pakai sampai satu tahun.”
Syukron memberi penegasan jika proses-proses ini sebenarnya membutuhkan waktu yang panjang dan tidak singkat. Ia merefleksikan jika proses belajar di pulau beberapa waktu lalu waktunya terasa sangat singkat. Namun hal itu tidak menjadi masalah baginya, karena yang penting adalah pengetahuan harus diikuti dengan praktik nyata dan itu setidaknya sudah dimulai.
Peluang produk olahan hasil kebun bagi rumah tangga
Selain pertanian, Kebun Tetangga juga memiliki produk yang dikembangkan sendiri yang memanfaatkan hasil kebun mereka sendiri. Proses ini diampu dan dikembangkan oleh Wulan. Proses belajar ini juga didampingi olehnya, ia membagikan banyak hal, dari cara mereka memproduksi, menjaga kualitas produk hingga cara memasarkan produknya.
Wulan mengawali obrolannya bersama komunitas dengan menggarisbawahi sebuah pertanyaan: “Apakah proses berkebun dan produksi hasil kebun bisa membantu perekonomian rumah tangga? Jawabannya adalah, bisa, karena untuk kebutuhan sayur sudah tidak membeli lagi di pasar kalaupun membeli sangat jarang dan ini dapat meminimalisir pengeluaran,” ungkapnya.
Wulan menjelaskan bahwa di Kebun Tetangga ia memproduksi olahan rumah tangga yang sejauh ini telah membantu meningkatkan juga pendapatan rumah tangganya. Menurutnya, ini adalah solusi yang harus dilakukan bagi seorang petani. Petani cabai misalnya, selalu mengalami kendala dalam pemasaran dan pendapatannya tak menentu sebab harga cabai juga tidak menentu dan tidak stabil. Hal inilah yang membuat ia memikirkan ulang bagaimana agar cabai yang ia panen itu bisa bertahan dan tetap punya harga jual.
“Memproduksi sesuatu menjadi sesuatu yang baru adalah langkah yang paling efektif. Seperti bunga telang, chili oil dan sambel ruwah,” ungkap Wulan.
Beberapa hal yang juga ia bagikan pada komunitas adalah pentingnya mengetahui besaran modal yang digunakan pada saat memproduksi. Sekecil apapun itu wajib baginya untuk dicatat, sehingga memang perlu memiliki pencatatan pengeluaran dan pemasukan, sebab mengetahui harga bahan baku adalah hal yang penting. Salah satu contohnya adalah ketika mengolah cabai menjadi chili oil, dengan mengetahui berapa harga cabai di pasaran itu dapat jadi perhitungan besaran modal yang dikeluarkan, sehingga patokan harga produk dan keuntungan dapat disesuaikan, gunanya untuk meminimalisir kerugian.
Dengan begitu, walau harga bahan baku di pasar terkadang tetap tidak menentu, Kebun Tetangga masih tetap mendapatkan keuntungan. Ia menambahkan, “Sebenarnya paling bagus itu ketika bahan baku itu tersedia di kampung, namun catatannya adalah meskipun kita memiliki bahan baku sendiri, kita masih harus mencatatnya sebagai pengeluaran.” Itulah yang menurutnya kadang luput dalam pertimbangan-pertimbangan produsen kecil.
Belajar dari Artani Bulk Store : toko yang menjajakan olahan komunitas di tengah kota
Di Artani kami juga disambut sama baiknya. Toko ini bisa dibilang berada tepat di jantung Kota Makassar. Ada banyak produk yang dijualnya, dari aksesoris seperti tas, dompet, dan sabun, hingga produk olahan kering seperti jeruk, bunga telang, bubuk daun kelor, dan banyak lainnya. Di etalasenya, terpampang beberapa botol VCO Passe’reanta sebagai salah satu produk yang juga dijualnya.
Artani sendiri bekerja dan membantu memasarkan produk olahan dari berbagai komunitas, khususnya kalangan petani yang pendapatannya kerap tidak menentu. Pegiat Artani, Ria, mengatakan bahwa meski hasil panen berlimpah, petani masih akan dihadapkan dengan harga pasar yang fluktuatif atau tidak menentu, sementara kondisi hasil tani kerap mengalami penurunan kualitas jika tersimpan lama pasca panen. Kondisi itulah yang menjadi dasar ide penjualan produk olahan kering Artani.
Karena itu, mereka mengaggap bahwa produk turunan dalam bentuk kering setidaknya bisa membantu komunitas di kampung untuk menjaga harga produknya tetap stabil dan bahkan bertambah nilai ekonomisnya. Selain itu, kualitas produksi komunitas akan menjadi lebih tahan lama dan bisa dipasarkan ke daerah-daerah lain di mana produk itu sulit dipenuhi, terutama di kota besar seperti Makassar.
Selain membantu masyarakat dalam proses penjualan, Artani juga memiliki visi menjaga lingkungan, sehingga tidak heran jika produk di Artani menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan.
Terkait itu, dalam kesempatan ini, Daeng Sugi memberitahukan bahwa sejauh ini sudah ada empat produk yang telah diproduksi oleh Komunitas Passe’reanta, di antaranya kripik kelapa, VCO, kripik sukun dan salonde yang sebagian besar kemasannya masih menggunakan bahan plastik.
Merespon itu, pegiat Artani memberi saran kepada para perempuan penggerak Passe’reanta untuk mengganti kemasan produk kripik sukun dan salondenya menjadi bahan ramah lingkungan agar dapat dipasarkan di Artani. Dalam kesempatan ini juga Artani berbagi informasi dengan komunitas terkait peluang-peluang kolaborasi ke depannya di luar agenda penjualan.
Refleksi komunitas: kebahagiaan dan inspirasi
Passe’reanta, Jagad Samudera dan Cita Tanah Mahardika pada proses kunjungan belajar bersama Kebun Tetangga dan Artani berjalan dengan sangat membahagiakan, beragam perasaan tersebut terangkum dalam berbagai ungkapan sederhana.
Daeng Sugi, menceritakan banyak hal. Ia merasa telah mendapatkan pengalaman dan kenalan baru yang bisa mereka ceritakan ketika pulang ke kampung.
“Banyak ilmu dan pengalaman baru yang kami dapatkan. Dan yang paling berkesan adalah saat kunjungan ke Artani, karena kami bisa mengetahui tempat VCO dititipkan dan ketika pulang di kampung kami juga akan menceritakan kepada orang-orang di kampung mengenai tempat itu, dan saya juga sangat bahagia karena bisa saling mengenal,” ungkap Daeng Sugi.
Hal ini serupa diungkapkan Daeng Lebang, dalam proses ini ia merasa sangat senang karena bisa melakukan proses belajar bersama ibu-ibu di Passe’reanta, Jagad Samudera dan Cita Tanah Mahardika, dan bisa belajar pengetahuan baru dari yang telah ia saksikan, baik di Kebun Tetangga dan juga di Artani. Begitupun dengan Daeng Caya. Ia sangat bahagia dan senang karena banyak mendapatkan inspirasi yang sebelumnya tidak terpikirkan olehnya dan juga berharap di pelatihan-pelatihan berikutnya ia bisa ikut lagi.
Daeng Puji turut merasakannya, “Saya sangat bahagia karena daun kelor ternyata banyak manfaatnya, dan ternyata bisa juga diolah kering.” Sementara itu Daeng Jinne tak bisa menutupi kebahagiaannya, “Saya bahagia melihat produk VCO di Artani ternyata berguna dan bermanfaat, kerajinan tangannya juga cantik,” ungkapnya.
Perasaan bangga dan terkesima dengan produk-produk dan kerajinan tangan yang ada di Artani diungkapkan oleh Daeng Lele. Ia juga menyampaikan beberapa hal, “Harapannya Passe’reanta dan Artani bisa terus bekerja sama, bisa saling bertukar pikiran, dan semoga kita semua berkembang bersama.”
Selain itu, Daeng Patta merasa akan ada beberapa hal yang perlu dilakukannya bersama Passe’reanta ke depan, “Di sini kami mendapat banyak pekerjaan rumah, terutama masukan soal kemasan, awalnya juga kami saat produksi VCO belum dikenal oleh banyak orang, tapi kami kasi’ kenal ke orang, kami promosikan terus ke masyarakat dan instansi yang kami datangi, waktu kami promosi, kami diberi banyak masukan, akhirnya kemasan kami ubah (seperti sekarang) dan semua masukan hari ini akan kami perbaiki, karena tanpa masukan kami tidak tahu apa yang harus kami perbaiki,” tutur Daeng Patta.