Tulisan “selamat datang” terpampang di sebuah kertas plano, tepat di samping Abrisal yang tengah menyambut ibu-ibu dan bapak-bapak yang datang dari Pulau Satangnga, Kepulauan Tanakeke, Takalar. Setelah bertukar kabar, pria yang disapa Ical itu membuka lembaran plano lainnya. Sebuah bait lagu ditunjukkan dan dinyanyikannya dengan gerakan-gerakan tubuh yang menyertai tiap kata di bait itu. Dengan aba-abanya, orang-orang yang hadir mengikuti irama lagu dan gerakannya sambil tersipu-sipu dan tertawa. Begitulah pertemuan ini dimulai.
Tiga organisasi, Passe’reanta, Jagad Samudera, dan Cita Tanah Mahardika melakukan pertemuan di Aula Rumah Aman Sulsel, Makassar, pada tanggal 2 – 5 Desember 2024. Pertemuan ini diselenggarakan dalam rangka melakukan refleksi tahunan tiap-tiap organisasi sekaligus mengagendakan rencana strategis untuk jangka satu tahun ke depan. Cita Tanah Mahardika sendiri berperan sebagai panitia pertemuan ini dan sekaligus menjadi partisipan di dalamnya untuk beberapa sesi tertentu.
Pada hari pertama ini, Senin (2/12/2024), setidaknya akan dilakukan dua hal, yaitu melakukan pengecekan pada situasi dan kondisi tiap orang serta melakukan lokakarya ekonomi rumah tangga.
Check in: berangkat dari perasaan setiap orang
Kegiatan ini dibuka dengan aktivitas pemusatan (centering) guna mengawali acara dengan santai dan menyenangkan. Jalannya sesi ini difasilitasi oleh Abrisal dan Deni melalui proses check in dengan cara melakukan journaling. Setiap partisipan menuliskan atau menggambarkan perasaan dan situasi masing-masing—yang bisa dan nyaman disampaikan ke orang lain—pada selembar kertas yang telah dibagikan.
Setiap lembar hasil journaling ini kemudian ditempelkan oleh partisipan pada sebuah papan tulis. Setiap orang lalu dibolehkan membaca semua lembaran-lembaran yang tertempel itu. Dari situ, setiap orang bisa saling melihat dan mengecek situasi satu sama lain. Dalam proses refleksi bersama untuk sesi ini, ada beragam respon yang bermunculan, sesi ini berjalan cukup emosional sebab menyangkut kondisi personal yang terhubung dengan kondisi rumah tangga dan kampung sekaligus.
Beberapa kondisi yang dianggap cukup berat dihadapi tiap rumah tangga adalah kerja-kerja perawatan yang sebagian besar dihadapi oleh para perempuan. Begitu pun dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti konsumsi harian dan kebutuhan pendidikan serta kesehatan anak.
“Anjo balla kugambarka [itu rumah yang saya gambarkan] itu perasaanku toh, njoe ri balla [di rumah itu] bahagia dan sedih, injo tallu bulanga tenaja na menunggak [bahagianya, karena dalam tiga bulan tidak ada yang menunggak], kesedihanku itu, biasa tidak dapat tangkapan, itu apa ni paballi berasa? [Apa yang dipakai membeli beras?] Itulah perasaanku, sedih,” ungkap Daeng Lebang.
Sebagai seorang bapak, Wahyudin Nur, juga mengalami tantangan yang mirip. Apa yang terjadi di Pulau Satangnga, itu juga dialami rumah tangganya di Bogor yang jaraknya terpaut jauh. Ia berhadap-hadapan dengan biaya pendidikan anak yang sangat mahal sehingga harus melakukan banyak pekerjaan sampingan sekaligus. “Saya nge-grab, jualan kaos, jualan bassang, itulah yang saya kerjakan,” ungkapnya.
Di sisi lain, meski situasi dan kondisi masing-masing orang beragam, para partisipan mengungkapkan ada situasi serupa yang juga dialami oleh orang lain. Situasi yang menimbulkan respon serupa yang sempat dibahas adalah memburuknya kondisi sumber penghidupan utama di pulau: laut. Di laut, tangkapan ikan selalu tak menentu dan semakin berkurang sehingga berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga.
“… Karena penghasilan di laut kurang, karena cuaca dan pengeluaran banyak, anak juga sekolah dan kadang minta uang, karena itu sedih karena dalam tiga bulan ini rezeki kurang. Kita berdoa saja semoga ke depannya semakin bagus, untuk pembayaran utang. Ada bahagianya karena dapatji beasiswa. Bahagia juga karena sehat-sehatji semua, bahagia karena kumpul-kumpul lagi di diskusi,” Daeng Lele.
Dalam proses refleksi, beberapa partisipan, salah satunya adalah Daeng Caya, mengungkapkan bahwa perasaannya menjadi lebih lega setelah menceritakan situasinya. Hal yang sama disampaikan juga oleh Daeng Lele dan beberapa partisipan lainnya. Dengan begitu, di sesi ini masing-masing bisa memahami situasi diri sendiri, situasi rumah tangga dan orang lain, serta situasi bersama.
Kondisi aset bersama memengaruhi kondisi ekonomi rumah tangga
Dalam proses check in hampir sebagian besar partisipan telah menyinggung kondisi ekonomi dalam rumah tangga, ini sekaligus menjadi pengantar untuk membicarakan ekonomi rumah tangga sedikit lebih jauh. Topik ini dibuka oleh Amel dengan menampilkan sebuah video animasi pendek berdurasi singkat yang menggambarkan kondisi ekonomi rumah tangga sebuah keluarga. Partisipan lalu meresponnya dan menjelaskan situasi apa yang baru saja dilihatnya.
Beberapa partisipan melihatnya dalam berbagai sudut pandang. Daeng Caya melihatnya sebagai seorang ibu yang biasa mengelola keuangan rumah tangga. “Tidak gampang untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, meskipun suami yang mencari uang, namun mengelola uang itu sangat susah,” ungkapnya. Rizal Karim menambahkan jika di video itu terlihat kesulitan seorang ibu menangani kondisi keuangan yang tak bersisa. “Kalau tidak ada uang, yang paling merasakan itu adalah ibu,” tambahnya. Sementara yang lain juga berpandangan bahwa memang sulit untuk mengontrol pengeluaran rumah tangga.
“Kadang kita dilema untuk memberikan uang kepada anak atau bapak, dan kalau saya lebih mendahulukan kebutuhan anak saya karena dia akan bersekolah,” ungkap Daeng Sugi.
Oleh Agung dan Dila, sesi ini lalu dilanjutkan dengan diskusi untuk memeriksa kembali sebenarnya seperti apa situasi aset rumah tangga dan aset bersama sejauh ini? Aset-aset rumah tangga dicatat masing-masing orang dan menempatkan aset bersama menjadi topik utama diskusi di sesi ini. Ada beberapa aset bersama yang disebutkan, seperti laut dan hasil-hasil laut, pantai dan pasirnya, sumber air tawar, kelapa hingga sukun.
Air tawar di pulau kondisinya dianggap masih baik, namun sudah mulai terasa asin di beberapa titik sumber air. Sementara itu di pesisir pulau telah terjadi abrasi dan laut menghadapi beberapa ancaman kerusakan dari aktivitas penambangan pasir dan karang, serta aktivitas penangkapan yang merusak: penggunaan bius dan bom.
Persoalan inilah yang dianggap sebagai salah satu yang paling memengaruhi kondisi pendapatan dan pengeluaran yang tak seimbang di level rumah tangga, di luar faktor cuaca ekstrim.
Dalam diskusi kelompok-kelompok kecil, partisipan bisa mengecek atau memeriksa kembali pengeluaran besar terjadi secara terus-menerus, namun tak diikuti kondisi pendapatan yang stabil karena beberapa persoalan di sumber-sumber penghidupan utamanya, yaitu aktivitas melaut. Selain itu salah satu hal yang disoroti adalah sulitnya mengontrol keuangan rumah tangga.
Ini dianggap mendorong salah satu fenomena yang sudah muncul selama bertahun-tahun di pulau: berutang.
Utang: sulit dihindari dan ditutupi, kebijakan juga tak berpihak
Utang mungkin bisa jadi adalah strategi atau cara sementara yang bisa diambil untuk menambal banyak celah dalam ekonomi rumah tangga. Namun partisipan menyadari betul, utang juga adalah dampak lanjutan yang timbul setelah mata pencaharian tidak lagi banyak menghasilkan. Beberapa partisipan menganggap bahwa utang kian hari kian bertambah karena kebutuhan harian yang juga kian membengkak.
“Banyak pengeluaran dalam rumah tangga dan solusinya untuk menutupi kebutuhan tersebut adalah dengan mengutang,” ungkap Daeng Tika.
Kebutuhan utang diperoleh salah satunya dari bank. Kebutuhan-kebutuhan untuk penggunaan utang biasanya untuk menambal kebutuhan konsumsi harian, kebutuhan pendidikan anak, biaya perawatan dan kesehatan anak, hingga kebutuhan alat-alat produksi dan perawatannya. Dalam diskusi kelompok kecil, pegiat Jagad Samudera, Daeng Tika dan kedua rekannya, Daeng Nyappa dan Daeng Gassing juga menyoroti peran pemerintah dalam hal ini.
“Kenapa ada kredit, karena ingin mendapatkan modal beli perahu, biaya sekolah, menutupi kebutuhan sehari-hari. Kenapa biaya sekolah mahal karena kurangnya perhatian pemerintah. Kebutuhan sehari-hari mahal, karena pengawasan pemerintah tidak efektif sehingga semena-mena menaikkan harga,” ungkap Daeng Gassing.
Karena demikian, kondisi gali lobang dan tutup lobang ini menjadi sulit dihentikan, sedang upaya menabung akan terhambat. Menurut Daeng Patta, salah seorang pegiat Passe’reanta, “Sekalipun banyak pendapatan, ketika banyak juga pengeluaran maka tidak ada yang tertinggal,” tuturnya. Situasi ini mirip betul dengan yang disimulasikan oleh tim fasilitator sebelum memulai topik ini: kantong plastik bocor yang diisi air berulang-ulang pun tak akan pernah penuh.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Setelah mendiskusikan semua persoalan tadi, dari kondisi aset bersama, pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, hingga fenomena berutang, partisipan lalu mendiskusikan apa saja yang paling memungkinkan bisa dilakukan dalam menghadapi persoalan ekonomi rumah tangga masing-masing.
Di level rumah tangga, beberapa hal yang bisa dilakukan diusulkan oleh masing-masing rumah tangga, di antaranya adalah: pemahaman bersama di dalam keluarga untuk menekan pengeluaran yang kurang diperlukan; menambah pendapatan dari sumber pendapatan lain; berdiskusi dengan keluarga untuk mengutamakan kebutuhan pokok ketimbang keinginan-keinginan lain; dan berupaya untuk menabung.
Sementara itu, menurut Amel, ada beberapa hal mendasar lain yang mungkin bisa dilakukan di level rumah tangga, salah satunya adalah melakukan pencatatan atas pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Hal ini ditanggapi oleh Daeng Gassing, menurutnya, perlu pendekatan dan penjelasan terlebih dahulu untuk memulainya, seperti apa manfaat dan tujuannya, terutama bagi ibu rumah tangga, sebab sepengalamannya, meski sempat mencobanya, ternyata itu belum bisa diterapkan di rumah tangganya.
Hal lain yang diusulkan Amel adalah “bijak dalam meminjam”. Menurutnya, sebisa mungkin, pinjaman itu dapat terukur, tujuannya jelas untuk memenuhi kebutuhan apa saja, dan tidak jauh melampaui daya seseorang untuk menanggungnya.
Lantas apa yang bisa dilakukan bersama? Amel sebelumnya menambahkan jika sebenarnya Passe’reanta telah melakukan usaha bersama dalam menghadapi persoalan ini, salah satunya adalah produksi VCO yang dilakukan oleh komunitas.
Selain itu, Daeng Patta sebelumnya sempat menyinggung bahwa perlu dialog untuk menjaga pulau. “Perlu diskusi dengan pemerintah setempat terkait dengan pengambilan pasir dan karang,” ungkapnya. Hal serupa sempat disebutkan oleh Daeng Tika yang sejauh ini melalui kelompoknya berupaya memerhatikan dan menjaga pulau, menurutnya, “Kita perlu untuk memikirkan bersama bagaimana kondisi pulau kita.”
Dian Yanuardy, turut memberikan beberapa tambahan terkait upaya bersama ke depan. “Karena sumber pendapatan utama kita sudah rusak, seperti laut, maka agenda jangka panjang kita ke depan adalah memulihkan dan menjaga laut,” tuturnya.
Menurutnya lagi, untuk menghindari jeratan utang, mungkin suatu saat kita butuh dan perlu mempelajari koperasi dan cara mengelolanya, atau mendorong Pemdes memfasilitasi itu melalui Bumdes. Sementara untuk usaha menambah penghasilan tambahan, mungkin kita perlu belajar untuk mengasa keterampilan-keterampilan tertentu yang bisa mendukung upaya kita.
***