Saya menonton kembali sebuah film lama yang sepertinya malah makin relevan saat ini. Film ini menceritakan perjalanan seorang perempuan, aktivis sosial-pendidikan dan pekerja LSM, Saur Marlina Manurung, atau akrab disapa Butet Manurung. Berangkat dari pengalamannya bersama Orang Rimba di hutan Bukit Duabelas, Provinsi Jambi, kisahnya diangkat menjadi sebuah film yang bertema pendidikan dan lingkungan.[1]
Butet menginisiasi sebuah sekolah alternatif yang ia sebut dengan “Sokola Rimba”. Sebutan itu sekaligus menjadi judul film yang digarap oleh Riri Riza dan Mira Lesmana ini pada 2013 silam. Butet sendiri diperankan sangat baik oleh Prisia Nasution di film produksi Miles Film ini.
Sekilas tentang film Sokola Rimba: tempat belajar bagi Orang Rimba
Film ini diawali dengan menampilkan Butet Manurung yang tengah mengendarai sebuah sepeda motor di jalanan yang membelah perkebunan sawit. Ia menempuh waktu perjalanan sekitar tujuh jam dari Kota Jambi ke hulu sungai Makekal di hutan Bukit Duabelas, Jambi, Sumatera. Di awal film, ia bertemu dengan seorang anak yang bernama Nyungsong Bungo, anak yang menolongnya pada saat jatuh pingsan dalam perjalanan menuju hulu. Saat Butet tersadar dari pingsannya, ia memperoleh informasi bahwa anak yang menolongnya adalah anak-anak yang hidup bersama keluarganya jauh di hilir. Butet lantas merasa heran dan bertanya-tanya, mengapa seorang anak dari hilir berjalan begitu jauh sampai ke hulu sungai Makekal?
Di sepanjang film, Bungo terlihat selalu membawa sebuah kertas di tangannya yang dibungkus dengan map berwarna cokelat dan dilapisi kantong plastik bening, seakan ia ingin menunjukkan keinginan dan minat belajar membacanya pada Butet. Hal inilah yang membuat Butet berpikir untuk kembali lagi ke hilir sejak kunjungan terakhirnya, sehingga ia mengajukan pendanaan kepada atasannya di LSM tempat ia bekerja. Namun, pengajuan itu ditolak dengan alasan pendanaan organisasi hanya fokus ke hulu, itu membuatnya merasa kecewa.
Butet, dengan inisiatif sendiri akhirnya dapat berkunjung lagi ke hilir dengan siasat-siasatnya sendiri. Ia membawa kopi, rokok dan biskuit untuk dibagi-bagikan sebagai pintu masuk—hampir sama yang dilakukan para penebang kayu kepada Tumenggung Belaman Badai atau ketua adat. Selang beberapa hari ia tinggal dan mengajar anak-anak di sana, Bungo sudah menunjukkan minatnya, terutama dalam belajar membaca dan berhitung. Namun orang-orang yang berada di dalam suku, termasuk ibu Bungo, pada awalnya tidak setuju ketika seorang perempuan mengajar karena dapat menghilangkan nilai kebudayaan dan kepercayaan. Ditambah lagi dengan keyakinan mereka terhadap “pena” yang dianggap dapat membawa malapetaka dan penyakit.
Di lain sisi, Bungo dianggap bisa saja meninggalkan komunitasnya. Atas penyampaian Tumenggung itu, Butet kemudian memutuskan untuk pulang.
Setelah itu ia tinggal di salah satu pemukiman transmigran yang rata-rata diisi oleh pemukim asal Jawa. Sebagian besar bekerja di dalam perkebunan sawit. Di sanalah ia mendapatkan informasi bahwa setiap minggunya orang-orang hilir akan turun gunung untuk menjual rotan dan madu ke pasar dan menukarnya dengan kebutuhan sehari-hari mereka.
Butet kembali membuka kelas. Setiap bertemu orang-orang yang berasal dari hilir, ia menitip pesan pada anak-anak rimba yang ingin belajar, bahwa ia saat ini mengajar di salah satu rumah warga. Sampai akhirnya Bungo datang membawa selebaran kertas, semacam dokumen izin pemanfaatan hutan. Bungo tampaknya ingin sekali mengetahui apa isi dari kertas yang dibawanya itu.
Dengan rasa heran dan kebingungan, hadirnya selebaran kertas tersebut ia rasakan seperti diikuti perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan hutan adat mereka. Mereka akhirnya dilarang membuka lahan dengan cara yang telah turun-temurun dilakukan keluarga dan komunitasnya, akibatnya mereka tidak lagi bisa memanfaatkan lahan. Hutan sebagai tempat berburu berbagai binatang dan madu untuk kebutuhan hidup semakin sulit diakses. Mereka terhalang karena alasan konservasi, terutama setelah adanya penetapan Taman Nasional. Tapi, di sisi lain, perkebunan sawit justru bebas beroperasi.
Pendidikan yang membebaskan
“Pendidikan bukan proses alienasi seseorang dalam lingkunganya dari potensi alamiah dan bakat bawaannya, melainkan potensi dasar alamiah bawaan untuk menjadi benar-benar aktual secara positif bagi dirinya dan sesamanya.”[2]~ Butet Manurung
Orang Rimba memiliki pengetahuan yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya sebagai modal untuk bertahan hidup. Akivitas masyarakat adat di Bukit Duabelas Jambi semuanya terhubung dengan hutan, baik itu prosesi pernikahan, hingga doa meminta kesembuhan. Pada ritual kelahiran misalnya, satu orang bayi sudah terhubung dengan dua jenis pohon. Di bawah pohon sentubung ari-ari bayi akan ditanamkan dan setiap kelahiran bayi dihadiahi satu pohon tenggeris, keduanya tidak bisa ditebang karena dianggap tumbuh bersama orang-orangnya.[3]
Kepercayaan dan pengetahuan yang mereka miliki membuat mereka dapat menjaga hutannya, namun saat ini bukan berarti mereka tidak memiliki persoalan. Seluruh ritual itu kini sulit dilakukan karena alih fungsi hutan hujan di ekosistem Bukit Duabelas, Jambi. Deforestasi di ekosistem Bukit Duabelas pada 2022 lalu dianggap menyisakan 60.000 hektar dari semula 130.000 hektar, penggerusan seluas itu terjadi hanya dalam tiga dekade. Alih fungsi itu mengubah rimba raya menjadi perkebunan skala luas, jalan-jalan yang memotong hutan, dan permukiman.[4]
Penyempitan lahan dan perampasan tanah adalah hal kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Meskipun Indonesia telah lama merdeka, tetapi tidak untuk kebanyakan masyarakat yang menghadapi perampasan dan klaim negara dan perusahaan atas tanah yang memisahkan mereka pada sumber penghidupan yang telah dikuasai secara turun-temurun. Itu dilakukan melalui berbagai macam agenda, baik itu agenda berkedok konservasi maupun pembangunan. Hal inilah yang dirasakan Orang Rimba yang berada di Bukit Duabelas Jambi.
Ketidakmampuan membaca, menulis dan berhitung bagi Orang Rimba menjadi perhatian utama Butet, di luar itu, pengetahuan Orang Rimba sangatlah kaya. Bagaimana mereka berpindah untuk menemukan tanah yang subur dan cara-cara mereka menjaga hutan agar tetap bisa berburu, adalah sebagian dari sekian banyak pengetahuan yang mereka miliki.
Keresahan Butet adalah eksistensi mereka akan terhapus dengan perluasan kebun oleh perusahaan sawit dan penebangan kayu yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang mengancam sumber penghidupan mereka. Termasuk pandangan mereka terhadap Orang Rimba sebagai sebuah entitas terbelakang.
Hal inilah yang ditolak Butet. Banyak pihak yang datang dari luar masih memakai pendekatan atau gaya kolonial untuk merampas milik mereka. Atas dasar itu Butet melihat anak-anak rimba hanya perlu kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung tadi, agar mereka tak lagi dapat ditipu oleh mereka yang ingin menguasai tanah adat mereka.
Dari sana ditampilkan suatu model pendidikan yang menarik, yaitu cara Butet mengajar mereka tanpa memisahkan anak-anak dari kehidupannya, seperti waktu bermain, berburu dan pada saat mereka membantu orang tua mereka berladang. Lalu seperti apa seharusnya pendidikan itu? Saya sempat membaca sebuah modul belajar untuk Training for Transformation yang ditulis oleh Anne Hope dan Sully Timmel, di situ ada satu kutipan Freire yang juga menarik, “Pendidikan adalah tentang membebaskan orang-orang dari segala sesuatu yang menghambat mereka untuk menjadi manusia seutuhnya.”[5]
Berbagai masalah di atas membawa saya juga merefleksikan kembali berbagai persoalan pendidikan yang hadir dalam sekolah-sekolah formal, dari penyeragaman kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah hingga kebijakannya yang terus didorong dari atas ke bawah, membuat pendidikan diterapkan dengan metode yang seragam di situasi yang beragam. Pendidikan dilakukan tanpa melibatkan perasaan siswa, memisahkannya dari kenyataan, dan tidak mengedepankan dialog yang setara. Di tengah terpinggirkannya pengetahuan-pengetahuan lokal, seharusnya lembaga pendidikan tidak membuat kita makin terasing dari lingkungan kita berada.
Setelah menonton film ini, saya lalu teringat pada Paulo Freire, salah seorang filsuf pendidikan—bersama dengan warga Brasil—yang memilih jalan pendidikan untuk terbebas dari penindasan. Ia mempercayai bahwa pendidikan sejatinya memerlukan dialog, namun bukan sekadar dialog, tetapi di dalamnya kesetaraan-kesetaraan dihadirkan. Dialog itu hadir di tengah ketidaklengkapan kita sebagai manusia, seperti ungkapan Paulo Friere:
“Dialog tidak bisa terjadi tanpa harapan, harapan berakar pada ketidak-lengkapan kemanusiaan kita, yang dari itu membawa diri kita sendiri untuk bergerak dalam pencarian terus–menerus, pencarian hanya dapat dilakukan dalam persekutuan dengan orang lain.”
Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan nalar kritis, meningkatkan kepercayaan diri dan memahami bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, ide dan gagasan mereka masing-masing. Ini dilihatnya sebagai sebuah usaha dalam merobohkan budaya bisu.
Film ini bukan hanya menceritakan bagaimana kondisi Orang Rimba berhadapan dengan rezim kehutanan dan perusahaan perkebunan, akan tetapi juga mengisahkan perjalanan Butet dalam mewujudkan harapan serta tantangan-tantangannya. Ia menghadapi berbagai permasalahan personal yang menjadi pergulatan batin baginya. Dari kegagalan pernikahannya hingga perbedaan perspektif dan visi pembangunan dengan LSM tempat ia bekerja.
Masalah-masalah ini sempat menghambat keinginannya mengajar sampai ke hilir. Lembaganya sendiri sudah merasa cukup dengan mengajar di hulu. Pergulatan seperti ini bisa jadi pernah dialami oleh orang-orang lain yang juga bekerja pada LSM/NGO. Film ini juga menggambarkan bahwa kerja-kerja pemberdayaan terkadang hanya dilihat sebatas kerja-kerja program—baik itu lembaga yang bekerja dalam gerakan pembangunan, pendidikan, dan lingkungan, dsb—yang memiliki target dan tuntutan tertentu.
Pergulatan tersebut akhirnya mampu dilalui oleh Butet, ia mampu menemukan jati dirinya dan memutuskan untuk keluar dalam pergulatan tersebut. Ketika ia mengajar anak-anak di hutan rimba, ia memutuskan untuk berhenti di tempat ia bekerja. Ia menganggur sebentar sebelum akhirnya menemukan pendanaan baru yang mendukung minatnya tetap terus terlibat dan belajar dalam Sokola Rimba.
Menurut saya, salah satu ungkapan penting dan sangat reflektif yang disampaikan Butet Manurung dalam film ini adalah, “Bukan saya yang mengajar mereka, akan tetapi merekalah yang mengajarkan banyak hal kepada saya.”
***
Catatan kaki:
[1] Film ini diadaptasi dari buku yang berjudul "Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba," karya Butet Manurung sendiri yang diterbitkan oleh Insist Press. Buku ini telah diterbitkan dalam 4 edisi, edisi terakhir diterbitkan pada Oktober 2008. [2] Insist Press (2008). Resensi: Sokola Rimba https://insistpress.com/2008/09/15/resensi-sokola-rimba/ [3] Irma Tambunan (2022). "Orang Rimba, Penjaga Bukit Duabelas." https://rainforestjournalismfund.org/id/projects/orang-rimba-penjaga-bukit-duabelas [4] ibid. [5] Paulo Freire, "Pedagogi Kaum Tertindas," dalam Modul Training for Transformation (TFT) Buku Pegangan untuk Pekerja Komunitas Vol. II yang disusun oleh Anne Hope dan Sally Timmel yang dicetak dan dipublikasikan secara terbatas pada TFT Institute, Kleinmond, Afrika selatan, pada tahun 2002.