Sejak dilahirkan, saya tumbuh dengan kasih sayang ibu yang melimpah. Darinya, perlahan saya mengerti apa itu makna sabar, sadar, dan pentingnya belajar memahami orang lain. Sementara itu, bapak mendidik dengan cara yang tegas. Saya banyak belajar pentingnya disiplin, kerja keras, dan membantu sesama. Keduanya memberikan cinta dengan cara berbeda. Baik pada saya, maupun bagi kelima saudara saya yang lain. Kami tumbuh besar di tengah capaian-capaian bapak dan ibu, seperti rumah sederhana—yang mereka bangun di kampung namun penuh dengan kenyamanan—dan beberapa petak lahan yang menghidupi kami dari waktu ke waktu.
Saya ingat, saya tumbuh sebagai remaja yang beruntung hingga mulai cukup dewasa. Tetapi, di usia delapan belasan, orang-orang di kampung melihat “kesuksesan” begitu melekat pada status PNS atau profesi formal lainnya. Kira-kira seperti itulah yang juga tengah dibayangkan dalam benak keluarga saya. Seiring itu, peruntungan keluarga mulai dialamatkan pada saya. Disiapkanlah biaya-biaya agar saya dapat melanjutkan pendidikan: semacam kunci menuju sukses.
Singkat cerita, saya telah siap berkuliah setelah dinyatakan lulus di dua kampus negeri berbeda di Makassar. Seluruh anggota keluarga pun merasa senang, kecuali saya. Seperti apa dan bagaimana melakukannya? Bagaimana membiayai semuanya? Menjadi pertanyaan yang jawabannya belum utuh saya bayangkan.
Kakak saya berpesan, “Kuliah saja dulu. Soal biaya, nanti dipikir sama-sama.”
“Jangan mundur pada apa yang sudah dimulai,” pesan kakak yang lain.
“Setidaknya, ada di antara kita yang sarjana,” ucap kakak saya yang lain lagi.
“Berangkat saja. Kita semua ada di sini temani papa sama mama,” tambah kakak saya satunya lagi.
“Jangan malas kasi’ kabar,” pesan ibu suatu waktu.
Bapak yang semula ragu akhirnya turut berpesan. Ia ingin saya tidak berakhir seperti dirinya. Bekerja setiap saat, menyemai, dan menumbuhkan harap pada ragam tanaman di petak-petak lahan miliknya. Ia juga memberi pesan yang membekas hingga kini, katanya, “Perbanyak teman, tapi jangan lupa pulang.” Pesan yang belum saya mengerti betul saat itu.
Setelah dialog panjang dengan diri sendiri maupun keluarga, akhirnya saya memberanikan diri menunaikan harapan-harapan itu.
Babak Satu: Menjalani Hidup Sebagai Mahasiswa di Perantauan
Tiba masanya saya meninggalkan kampung halaman. Pada 2015 silam, saya menempuh perjalanan sekitar 6 jam melalui jalur darat menuju Makassar. Waktu berjalan singkat, tetapi sudah terasa panjang untuk menjalani banyak hal beberapa tahun ke depan. Belum cukup sebulan, saya memutuskan ikut dalam penerimaan anggota baru di salah satu organisasi ekstra kampus. Prosesnya menyita tidur malam saya karena harus begadang semalam suntuk selama seminggu.
Keputusan ini sebenarnya dipicu oleh rasa iri pada kemampuan mahasiswa yang lebih dulu berkuliah. Ketika mereka masuk ke ruang kelas untuk pengenalan organisasi, saya merasa mereka tampak percaya diri, berbicara dengan baik, dan berani tampil di hadapan banyak orang. Tak butuh waktu lama, saya lalu memikirkan untuk mempunyai kemampuan serupa. Ternyata, tak semudah seperti yang saya pikirkan sedari awal. Saya butuh waktu untuk belajar. “Ini yang namanya proses,” pesan yang membekas kuat dan menyertai perjumpaan saya dengan budaya organisasi dan kemahasiswaan.
Waktu berlalu dan ada banyak hal yang saya rasakan mulai tumbuh. Dari kepercayaan diri tampil di hadapan banyak orang; menambah teman lewat diskusi-diskusi yang digelar; minat membaca buku semakin kuat; hingga menyukai sosok perempuan idaman. Sejak saat itu, begadang dan meminum bergelas-gelas kopi menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Terlintas satu ungkapan salah seorang dosen, “Dunia mahasiswa hanya berisi tiga hal: kopi, buku dan cinta,” katanya pada suatu diskusi.
Semester demi semester saya lewati. Beberapa perekrutan organisasi telah saya ikuti. Dari organisasi yang cabangnya tersebar secara nasional, komunitas baca, organisasi tingkat jurusan dan fakultas, media komunitas, hingga unit kegiatan mahasiswa untuk menyalurkan hobi saya sejak kanak-kanak: sepak bola. Melalui itu semua saya bertemu banyak orang baru dengan beragam karakter. Mereka ikut memberi pengaruh pada saya dalam melihat diri, orang lain, maupun komunitas.
Seiring waktu, berorganisasi memberi banyak pelajaran. Ada yang baik, ada pula yang buruk. Dari pengalaman yang baik saya belajar menggali potensi diri, disiplin pada waktu, mengambil keputusan, begitupun dalam memahami orang-orang di sekitar. Meskipun tidak seluruhnya dapat saya praktikkan saat itu juga.
Sedangkan dari pengalaman yang buruk, saya belajar beberapa hal. Pertama, ada praktik ketidaksetaraan yang timbul dari perasaan “lebih berkuasa” ketimbang yang lain. Biasanya perasaan ini dipengaruhi oleh perbedaan usia, jenis kelamin, sederet pengalaman mentereng, hingga banyaknya buku yang telah dibaca. Pada praktiknya, hal ini seringkali memengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi. Kedua, kurangnya kepekaan dan dukungan orang-orang di organisasi dalam menangani masalah personal. Hubungan antar mahasiswa seolah hanya sebatas urusan-urusan kelembagaan yang membuat hubungan sosial tampak dibangun seperti perhitungan bisnis: untung atau rugi bagi organisasi. Ketiga, ada jarak yang memisahkan antara orang yang dianggap ‘lebih tahu’ dengan orang yang ‘baru mencari tahu’. Hal ini berlaku pada proses belajar di organisasi maupun di ruang perkuliahan.
Tentu banyak orang mulai menyadari itu sebagai budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Ini membuat masing-masing orang dinilai sebatas dari apa yang telah dicapai, sementara mereka yang dianggap tak bertumbuh akan tersisih dengan sendirinya. Sesuatu yang jelas menimbulkan masalah, tapi seringkali diabaikan. Bahkan tak ada pembelajaran dan rencana tindakan bersama yang dapat dirumuskan dari masalah-masalah tersebut, sehingga organisasi hanya menjadi ruang hampa bagi mereka yang tidak diberi ruang untuk bertumbuh.
Di samping itu, dunia kampus sendiri sudah berisi banyak masalah. Dari biaya kuliah mahal, fasilitas kampus yang buruk, konflik karena perbedaan pilihan politik, perkelahian antar mahasiswa karena adu domba, hingga kejujuran jadi hal yang makin langka.
Semua telah saya alami dan belakangan saya menyadari masalah-masalah itu turut membentuk karakter, sekaligus menjadi cerminan praktik harian saya ketika berinteraksi dengan orang lain. Beberapa masih membekas hingga kini, ada pula yang sudah tertinggal lama. Sisanya menjadi perhatian khusus sebagai bahan refleksi personal, dengan harapan saya dapat terus bertumbuh sebagai individu yang tidak terpisah satu sama lain. Baik di lingkup keluarga, organisasi, maupun komunitas.
Babak Dua: Melihat Harapan di Tengah Kerasnya Kenyataan
Setelah menjadi seorang alumni, tantangan hidup pun ikut bertambah. Ada banyak kekhawatiran, terutama ketika merespon pertanyaan macam ini: “Setelah ini, apa lagi?”
Bapak dan ibu saya di kampung kian menua dan tak jarang menagih apa arti dari tujuh tahun lamanya saya berkuliah. Kekhawatiran saya semakin menjadi-jadi, saya pikir ini juga akan memangkas kepercayaan yang telah diberikan oleh kelima saudara saya. Rasa bersalah mulai bermunculan, di tengah belum ada bayangan pekerjaan seperti apa yang akan saya tekuni. Meski telah berijasah sarjana dan memiliki beberapa pengalaman berorganisasi, dua hal ini belum tentu jadi jaminan mendapatkan pekerjaan sesegera mungkin. Sementara itu, saya mendengar pahitnya pengalaman beberapa teman yang sulit diterima saat melamar pekerjaan hanya karena tidak memiliki “orang dalam”.
Sebenarnya beberapa kesempatan untuk memasuki “dunia kerja” telah berdatangan, namun saya masih enggan mengambilnya. Saya mempunyai ketakutan bahwa dunia kerja bisa membentuk karakter seseorang menjadi sangat berbeda. Saya takut dunia kerja membuat saya lupa pada pentingnya proses belajar karena terlalu fokus mengejar hasil. Saya juga takut dengan relasi dan praktik harian yang tidak manusiawi sehingga lupa pada perubahan kecil maupun besar yang selama ini saya bayangkan. Ketakutan-ketakutan yang akhirnya membuat saya lagi-lagi mengabaikan peluang-peluang itu.
Tentu ini pilihan dan langkah yang sulit. Kenyataannya, untuk survive di tanah rantau, saya menyadari bahwa kebutuhan saat ini hanya mungkin terpenuhi melalui transaksi demi transaksi di pasar. ‘Kerja’ menjadi syarat utama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang membuat saya harus berpikir keras dalam mengambil keputusan.
Dalam situasi tersebut, salah satu yang cukup membantu adalah ketika bertemu beberapa teman yang tengah mengalami hal serupa. Setelah berdiskusi berhari-hari, dengan perasaan senasib kami bisa memunculkan ide-ide dan rencana alternatif. Sayangnya, hal itu juga harus terhenti karena beberapa sebab. Saya paham, bahwa untuk mewujudkan harapan—di tanah rantau—tidak cukup hanya dengan tekad dan keberanian. Tetapi juga butuh modal lain: uang, pengalaman, dan perencanaan yang matang.
Di perantauan, saya kian sering diperhadapkan pada situasi dilematis. Saya merasakan nasib yang makin tak menentu. Situasi ini membuat saya memutuskan beberapa kali harus pulang kampung akibat berbagai persoalan yang saya hadapi. Harapan saya keluarga di kampung bisa memaklumi. Setidaknya saya sudah sempat mencoba untuk ‘bekerja’ dengan cara saya sendiri, meski mengalami kegagalan.
Di kampung halaman ternyata banyak hal yang tidak berubah. Aktivitas harian masih berlangsung sama. Saya terbawa ritme itu, dari berkebun, bertani, dan sesekali bepergian menikmati waktu luang. Di tengah rutinitas di kampung, beberapa tawaran kerja formal tetap enggan saya ambil. Hal ini berlangsung sekitar setengah tahun lamanya. Saat itu, saya sudah merasa jika menetap di kampung adalah pilihan terbaik karena bisa lebih dekat dengan keluarga.
Namun tak begitu lama, beberapa tetangga tampaknya merasa aneh dengan situasi saya. Melihat seorang sarjana yang pulang ke kampung lalu hanya bertani atau berkebun tak dilihat sebagai aktivitas bekerja. Ini membuat mereka tak bisa menahan diri. Beberapa orang dengan gamblang menyampaikan itu pada ibu dan bapak saya. Kedua orang tua saya meresponnya dengan cara menanyakan kembali rencana-rencana saya selanjutnya. Ini makin menyulitkan, sebab ‘kerja’ hanya akan disebut kerja jika menghasilkan upah, gaji tetap, dan berpenampilan rapi. Seperti itulah seharusnya sarjana!
Dari waktu ke waktu kehangatan di rumah perlahan menurun. Setiap saat ibu selalu mengingatkan saya untuk segera bekerja. Bapak pun demikian, meski tak serutin ibu. Dorongan keduanya membuat saya semakin terbebani mengambil keputusan cepat. Bagi saya, alasan-alasan untuk mengelak dari “dunia kerja” seperti yang dibayangkan orang di kampung itu makin menipis. Tawaran merantau untuk bekerja di industri ekstraktif di dua lokasi berbeda nyaris saya iyakan saat itu.
Namun, sebelum situasi makin menggelisahkan, kabar baik datang melalui panggilan Whatsapp. Rencana komunitas belajar[1] yang sempat saya ikuti prosesnya sejak tahun 2021 – 2022 akhirnya menemui titik terang. Saya segera meminta izin pada ibu dan bapak setelah berdialog cukup panjang dengan mereka. Saudara-saudari saya turut membantu membicarakannya. Setelah memperoleh izin, saya lekas menuju Makassar.
Di Makassar, lebih tepatnya di Gowa, saya lalu berjumpa dengan rekan-rekan yang lain, sebagian besar sudah saya kenali dan sebagiannya lagi adalah kawan baru. Dalam beberapa kesempatan kami bertemu untuk membahas rencana-rencana ke depan. Salah satunya adalah kantor untuk perkumpulan yang sedang kami bangun bersama.[2] Dengan begitu, kami dapat berkumpul—dan sekaligus tinggal—di tempat tersebut.
Di suatu lokakarya sederhana yang digelar di kantor, kami difasilitasi dalam mengenali diri dan menggali potensi masing-masing. Kami diminta untuk melihat lebih jauh ke dalam diri sendiri dan merefleksikan pengalaman yang telah kami lalui, serta menganalisa pelajaran apa yang bisa kami ambil dari sana. Prosesnya menyenangkan sekaligus cukup menyulitkan. Kesulitan yang sama rupanya juga dialami oleh teman-teman yang lain. Apalagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan diri sendiri. Suatu tema belajar yang asing bagi kami tapi sebetulnya sangat dibutuhkan. Proses ini hampir tidak pernah dilakukan di organisasi yang pernah saya geluti. Bahkan masing-masing orang mengilhami perasaan serupa. Kenapa hal semenyenangkan ini tidak pernah dilakukan sebelumnya?
Kami lalu diajak untuk memikirkan rencana personal selama setahun ke depan dan juga menempatkan komunitas menjadi bagian dari rencana tersebut. Sederhananya, kami mencoba merumuskan rencana personal sekaligus melihat irisannya dengan tujuan-tujuan komunitas atau sebaliknya. Lalu kami juga mencoba melihat hubungan keduanya dengan komunitas yang lebih luas.
Untuk mewujudkannya, agenda beralih pada rencana selanjutnya: menyusun tindakan bersama. Pertanyaan dasarnya adalah apa yang akan kami lakukan? Dalam proses ini masing-masing orang diberi ruang mengajukan usulan. Rencana-rencana yang diusulkan tersebut lalu disusun, didiskusikan, sekaligus ditata menjadi bagian dari rencana tindakan bersama di komunitas. Kami juga diminta untuk memutuskan sendiri tema belajar apa saja yang menjadi minat utama kami untuk menopang rencana-rencana tadi, sekaligus sebagai upaya mengembangkan potensi personal dan komunitas.
Momen yang juga berkesan adalah proses belajar pada Training for Transformation (TFT) yang saya ikuti di Tombolo Pao, Gowa. Pada kesempatan ini, saya mengalami cara belajar yang cukup baru. Dalam prosesnya, ada ragam pendekatan yang digunakan untuk melihat kembali kebermaknaan diri sendiri, serta hubungannya dengan keluarga, organisasi/komunitas, hingga lingkup sosial yang lebih luas. Saya mulai menyadari bahwa selama ini kita memang sering mengabaikan banyak hal dalam berkomunitas. Salah satunya adalah pentingnya aspek individu, termasuk perasaan-perasaannya. Mendengar cerita satu sama lain ternyata membuat kita setidaknya dapat saling memahami dan mengerti pengalaman dan situasi masing-masing. Langkah awal upaya-upaya perubahan bisa mulai dari situ.
Di beberapa sesi TFT, kami berkesempatan untuk berkenalan dengan para pembelajar lain yang berasal dari berbagai negara, yang sebagian besar berasal dari Afrika, seperti Uganda, Mozambik, Angola, Nigeria, Zimbabwe, India dan sebagainya. Sementara peserta dari Indonesia saat itu adalah Cita Tanah Mahardika (Makassar) dan YP3SP (Papua). Dalam beberapa sesi yang dihubungkan via Zoom, kami banyak mendengar keresahan, kebahagiaan, dan cita-cita besar di masing-masing komunitas. Terutama dalam melihat perubahan atas kondisi hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan, kerusakan lingkungan, keretakan hubungan akibat tak saling memanusiakan, kebudayaan yang meminggirkan hak untuk hidup damai, hingga usaha-usaha pemulihan yang tengah dikerjakan oleh mereka.
Saya dapat memetik satu pelajaran bahwa kondisi yang tengah saya rasakan dan alami, ternyata ikut dirasakan pula oleh orang lain. Bahkan para pembelajar dari berbagai negara turut mengalami masalah serupa, ternyata karakter pembangunan secara global yang dipandu negara dan sektor privat itu sebenarnya sama-sama bermasalah dan berdampak pada penghidupan komunitas.
Meski masalah yang tengah dihadapi cukup serupa, setiap komunitas pembelajar memiliki caranya masing-masing dalam mengurus masalah yang ada. Darinya, saya belajar proses kreatif di tiap-tiap pembelajar yang bertumbuh seiring dengan kemampuan mereka menyelami dan mengurai masalah yang dialami. Terutama melakukan berbagai tindakan yang mampu mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh pembangunan.
‘Cara/tindakan yang berbeda tidak selalu menjadi tanda bahwa tujuan kita juga berbeda’. Bagi saya, ungkapan ini cukup mewakili apa yang telah saya pelajari dari proses membuka diri, mendengar, merasakan, sekaligus belajar memahami masalah yang tengah dirasakan oleh orang-orang. Yang jauh lebih penting yakni bagaimana dorongan perubahan selalu dapat dimulai dari diri sendiri. Sehingga masing-masing orang dapat mengambil ruang di komunitas untuk bertumbuh dalam setiap proses belajar dan bekerja.
Babak Tiga: Belajar Bersama Komunitas Kampung
Sejak tahun 2021, saya beserta belasan peserta ‘Kelas Riset Pesisir’ berkesempatan belajar di Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Kami dibagi menjadi tiga kelompok kecil yang akan belajar di tiga pulau berbeda. Saya bersama tiga peserta lain di Pulau Bauluang. Sementara dua kelompok lain masing-masing di Pulau Satangnga dan Labbotallua. Seluruhnya menghabiskan waktu selama 10 hari. Proses belajar ini berlanjut hingga sekarang. Terutama di Satangnga dan Bauluang. Di Satangnga, dua organisasi sudah hadir yakni Passereanta dan Jagad Samudera. Sedangkan di Bauluang masih mencari bentuk organisasi seperti apa yang diharapkan oleh warga. Di dua pulau ini, kami yang tergabung dalam Cita Tanah Mahardika (CTM) banyak melakukan proses belajar dengan prinsip ‘bertumbuh bersama’.
Saat berada di Pulau Bauluang, kami kerap kali menemui ragam cerita yang diperoleh lewat praktik survei mendengar[3] untuk menyerap berbagai perasaan yang muncul dari ungkapan warga, baik kebahagiaan, kekhawatiran, dan keresahan. Setelahnya, kami dan komunitas menarik satu tema generatif atau masalah umum di kampung, yakni hasil laut yang berkurang. Satu tema yang dinilai mampu menjadi dasar bagi warga kampung untuk bergerak. Tahap demi tahap dilakukan oleh kami maupun warga saat lokakarya ‘enam langkah menggali lebih dalam’[4] masalah yang sedang dihadapi. Pertemuan ini pun diakhiri dengan tiga tindakan bersama untuk mengatasi masalah ‘hasil laut yang berkurang’ seperti : (1) memanfaatkan apa yang tersedia di kampung sebagai penopang kebutuhan harian; (2) membuat media tanam di sekitar pekarangan; (3) membangun komunitas. Pada tindakan terakhir, sementara waktu mendapat penundaan yang berangkat dari pertimbangan masing-masing orang di komunitas.
Proses belajar dengan komunitas kampung membuat saya belajar banyak hal. Pertama, pada proses listening survey warga kampung banyak meresahkan kondisi penghidupan yang tidak menentu akibat sejumlah krisis. Baik yang disebabkan langsung oleh pengaruh alam maupun kerusakan yang dipicu oleh aktivitas manusia, seperti : (1) kekeringan yang membuat hasil tanam padi, kacang, dan ubi jalar mengalami gagal panen; (2) maraknya praktik penangkapan ikan yang merusak, berakibat pada hasil laut mulai berkurang dan membutuhkan lebih banyak modal produksi; (3) lilitan utang untuk memenuhi kebutuhan: konsumsi harian rumah tangga, sekolah anak, biaya kesehatan keluarga, dan aktivitas seremonial lainnya (sunatan, nikah, maulid, dan semacamnya). Hal ini mendorong beberapa warga harus mencari peruntungan lain (membuat arang dari manggrove atau cumiq, merantau, dan seterusnya). Keresahan semacam ini, turut dirasakan pula oleh orang-orang di sejumlah tempat. Bahkan di antara kami sendiri di CTM, begitu pun saya. Menariknya, kemampuan warga dalam menghadapi situasi krisis dapat dijadikan pelajaran berharga. Terutama dalam mengurusi masalah harian yang tengah dihadapi.
Kedua, saya belajar bagaimana komunitas mulai berani menentukan apa dan bagaimana melakukan suatu tindakan perubahan. Seperti yang saya singgung sebelumnya, warga di Bauluang ingin mengatasi masalahnya dengan tiga tindakan yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Baik secara individu maupun secara bersama-sama. Kami berkesempatan untuk menemukan ragam pikiran kreatif yang ingin ditempuh oleh warga melalui proses dialog. Proses ini memberi ruang bagi satu sama lain dapat saling bercerita, mendengar, dan bekerja sama. Karena masalah yang dirasakan oleh Individu kerapkali berkaitan dengan situasi di keluarga, komunitas, maupun di kampung.
Refleksi Akhir
Hubungan dari seluruh pengalaman yang saya alami sebagai individu yang sempat terlibat di organisasi mahasiswa dan saat ini sebagai pegiat di CTM serta pembelajar di komunitas kampung, membuat saya mengerti masalah serupa dapat terjadi di berbagai tempat. Bahwa individu bukan subyek tunggal. Namun tetap terkait dengan kondisi keluarga, komunitas, dan situasi sosial yang dihadapinya. Dengan kata lain, akan selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi, budaya, dan politik. Seluruhnya mengiringi cara hidup tiap individu dalam berpikir dan bertindak. Begitu pula sebaliknya, aksi atau tindakan individu dapat memberi dampak untuk mendorong perubahan pada tiap masalah atau situasi yang tengah dialami bersama. Meski berada di ruang dan waktu yang berbeda.
Perubahan yang diharapkan baik secara individu maupun komunitas dapat dimulai dari diri sendiri. Bukan berarti harus menarik diri dari ruang hidup tempat di mana kita tumbuh. Namun tetap menjadi bagian dari perubahan yang juga tengah diharapkan dan diusahakan oleh banyak orang agar dapat terwujud. Seperti ruang sosial yang berisi lelaki-perempuan, muda-tua, dan seterusnya—dapat hidup saling berdampingan tanpa meminggirkan hak masing-masing orang. Sebagai akhir, saya ingin menutup catatan ini dengan pertanyaan:
“Siapkah kita (diri sendiri) menjadi bagian dari perubahan semacam ini?”
[1] Sekolah Riset Pesisir di Kepulauan Tanakeke (Cikal bakal terbentuknya Perkumpulan Cita Tanah Mahardika)
[2] Perkumpulan Cita Tanah Mahardika
[3] Survey mendengar adalah praktik riset sederhana yang kami pelajari dalam Training for Transformation (TFT) in Practice
[4] Metode dialog dengan pendekatan hadap-masalah untuk menggali masalah lebih dalam melalui 6 tahap: 1. Memantik dengan kode, 2. Menamai masalah, 3. Bercerita pengalaman personal tentang masalah terkait, 4. Mengurai dan menganalisa dampak, 5. Menggali akar masalah, 6. Menyusun tindakan bersama. Bersumber dari modul TFT Bagian I yang disusun oleh Anne Hope dan Sally Timmel.