Bagaimana transisi energi memengaruhi kehidupan kita?
Pertanyaan di atas ditampilkan pada flayer sebuah acara diskusi (talkshow) yang diselenggarakan oleh MAPALASTA (Mahasiswa Pecinta Alam Sultan Alauddin), UKM RITMA (Riset, Keilmuan dan Kemitraan Masyarakat) dan Greenpeace Indonesia di LT. 4 Rektorat UIN Alauddin Makassar, Kamis (03/10/2024).
Pertanyaan itu membuat kita ikut bertanya-tanya sedari awal. Seperti apa sih transisi energi itu? Bagaimana itu bisa memengaruhi kita? Bagaimana ini akan direspon oleh Gen-Z? Kegiatan ini mencoba mengurai pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, utamanya tentang persoalan-persoalan di seputar transisi energi di Indonesia, khususnya mengenai praktik PLTU Captive dan dampak-dampaknya.
Talkshow bertajuk Gen-Z dan Perubahan Iklim: Bagaimana Transisi Energi Memengaruhi Kehidupan Kita? Menghadirkan empat narasumber, yaitu pegiat Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, Kepala Divisi Energi Walhi Sulsel, Nurul Fadil Gaffar, Direktur Eksekutif Cita Tanah Mahardika, Imamul Hak, dan Dosen Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar, Ranti Ekasari.
Pada sesi awal diskusi, Nurul Fadil Gaffar menggambarkan jika Sulawesi adalah pusat nikel di Indonesia bahkan di dunia. Industri nikel erat kaitannya dengan PLTU yang energinya berbasis batu bara. Ia mengilustrasikan konsep PLTU Captive sebagai pembangkit listrik yang dibangun sepenuhnya untuk memasok kebutuhan industri, seperti pengolahan mineral dan batu bara. Menurutnya saat ini ada dua model penyaluran energi listrik terkait PLTU.
“On grid itu listrik yang disalurkan (oleh PLN) sampai ke ruangan kita, itu yang kita pakai saat ini, sementara off grid itu adalah listrik yang tidak disalurkan melalui PLN sebagai penghubung ke konsumen, tapi untuk kebutuhan sendiri, seperti penggunaan PLTS. Konsep itulah yang dinamakan sebagai captive. Tapi yang skala besar ini, captive itu diadakan di wilayah industri, seperti di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Karena kebutuhan yang sangat besar, sehingga banyak dibangun captive-captive di wilayah industri. Salah satu alasannya adalah mereka tidak mendapatkan transmisi langsung dari PLN sehingga dibolehkan membangun pembangkit sendiri,” ungkap Fadil.
Menurutnya, pada dasarnya PLTU yang dikelola PLN dan PLTU Captive karakteristiknya sama saja, sama-sama menggunakan energi fosil batu bara sebagai basis energi yang berdampak buruk pada ekonomi, sosial, dan lingkungan. Yang membedakan keduanya adalah siapa yang menggunakannya. PLTU Captive lebih banyak melayani kebutuhan energi industri-industri besar, seperti industri pengolahan mineral (smelter). Menurutnya hal ini merugikan negara sebab negara tidak lagi punya kontrol dan penguasaan atas pengelolaan listrik nasional, tapi dikuasai entitas bisnis/swasta.
Sementara itu, bagi Ranti Ekasari, PLTU Captive memengaruhi kualitas udara dan kesehatan manusia. Mengutip data WHO, beberapa penyumbang terbesar polusi udara itu datang dari aktivitas industri dan pembangkit listrik. Dampak polusi udara yang disebutnya sebagai ‘silent killer’ itu sangat besar, di Asia Tenggara sendiri bisa menyebabkan ada jutaan kematian.
Menurutnya, sektor pembangkit listrik adalah penghasil emisi CO2 terbesar secara global pada 2022 lalu, persentasenya mencapai 45,5%. Sementara jika dilihat dari sisi sumber energinya, penggunaan batu bara menghasilkan emisi CO2 sebesar 57,5%. PLTU menghasilkan banyak polutan seperti gas rumah kaca yang akan mempercepat dan memperparah pemanasan global serta menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Salah satu polutan atau zat kimia berbahaya yang dihasilkannya adalah Particulate Matter (PM2,5). PM2,5 adalah polutan yang berbentuk partikel kecil dan sangat halus, jauh lebih kecil daripada sel-sel darah manusia. Itu membuatnya bisa masuk ke tubuh kita dari beberapa celah. Dia bisa masuk melalui mata, kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Namun porsi yang besar bisa masuk melalui saluran pernapasan. Meski PM2,5 bisa dihasilkan oleh kendaraan bermotor misalnya, namun tingkat toksisitas yang dihasilkan PLTU batu bara menurutnya jauh lebih tinggi.
“Jadi coba bayangkan, jika PM2,5 ini bisa masuk ke dalam saluran tubuh kita, masuk menginfeksi sel darah merah kita, 1-2 mungkin masih aman, namun lama-kelamaan jika sudah terakumulasi bisa menghambat saluran darah kita. Pembuluh darah tersumbat, tidak ada darah yang sampai ke jantung, jadilah penyakit jantung,” ungkap dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UIN yang juga berlatar belakang kesehatan lingkungan dan K3 ini.
Selain itu, industri PLTU ini masih menghasilkan zat kimia lain yang berbahaya bagi kesehatan, dari merkuri, arsenik, timbal, kromium. Polutan-polutan ini bisa berdampak besar pada meningkatnya beberapa penyakit, seperti infeksi pernapasan, infeksi kulit, dan dampak jangka panjangnya seperti meningkatnya kasus penyakit paru-paru, penyakit jantung, hingga kanker. Ia juga menampilkan beberapa studi yang menunjukkan bahwa di region Asia Tenggara, Indonesia diprediksi pada 2030 mendatang akan menyumbang angka kematian prematur tertinggi yang diakibatkan paparan PM, baik PM2,5 maupun PM10.
Menurutnya, meski manusia telah dikaruniai alat-alat pertahanan tubuh untuk menyaring zat-zat berbahaya ini, jika melihat bahaya PLTU captive ini, ia pikir lebih baik mencegah ketimbang mengobati.
Bondan Andriyanu melengkapi beberapa uraian terkait transisi energi dengan menyampaikan ironi dan persoalannya. Pada awalnya, konsep transisi energi ini berupaya mengalihkan penggunaan bahan bakar fosil ke energi yang ramah lingkungan. Contoh sederhananya, peralihan dari kendaraan berbahan bakar minyak yang menghasilkan banyak karbon dioksida atau polusi ke kendaraan yang berbasis baterai.
Nikel lalu menjadi primadona di dunia untuk mendukung produksi baterai kendaraan listrik yang dianggap lebih ramah lingkungan. Namun kenyataannya, produksi baterai itu sendiri tidak terlepas dari industri pengolahan mineral yang sumber energinya berasal dari PLTU-PLTU berbasis batu bara. Jadi menurutnya ini tidak menyelesaikan persoalan utamanya.
Ia mengambil satu contoh kasus di Kota Jakarta. Jakarta adalah salah satu kota dengan polusi yang besar. Umumnya, orang-orang menganggap jika polusi di Jakarta itu hanya disebabkan oleh polusi kendaraan atau transportasi, namun nyatanya tidak hanya itu.
“Di Jakarta ternyata ada tuh tambahan polusinya, dari mana? Ternyata dari PLTU-PLTU batu bara, 34% polusi udara di Jakarta itu penyumbang nya adalah PLTU batu bara … Sejak 2017 (di Jakarta) kami mengedukasi publik untuk mendorong/meminta pemerintah serius menangani persoalan polusi udara, selain pemerintah kota, juga PLTU batu bara,” ungkap Bondan Andriyanu.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah melakukan moratorium untuk memensiunkan PLTU-PLTU batubara, namun masih ada pengecualian jika penggunaannya untuk kebutuhan industri. Jadi moratorium itu sendiri dilihatnya sebagai sesuatu yang ambigu dan tidak konsisten.
Menyambung itu, Imamul Hak mencoba melihat kebijakan energi itu jauh ke belakang. Ia mengatakan jika kebijakan dan tata kelola energi di Indonesia (Hindia Belanda) itu sudah diatur sejak era kolonial. Potensi pertambangan mineral dan batubara ini sudah dilihat potensinya sejak era itu. Sumber-sumber mineral dan energi itu dikuasai dengan watak kolonial yang pengelolaan dan keuntungannya sepenuhnya di tangan pemerintah kolonial, terutama saat keluarnya Indies Mining Law pada tahun 1899.
Di era Orde Baru, pemerintah Indonesia dengan watak otoritariannya membuka keran yang luas untuk pendanaan asing melalui UU PMA (Penanaman Modal Asing) pada tahun 1967. Hal itu berdampak dengan menguatnya pengaruh swasta-asing pada kebijakan dan pengelolaan energi. Semua regulasi yang menghambat diubah untuk melayani investasi asing, salah satunya dengan menyusun UU Pertambangan di tahun yang sama.
Sementara rezim Jokowi, yang dilihatnya sebagai rezim tersendiri yang juga berwatak ‘neoliberal’, menelurkan satu UU sapu jagad, UU Cipta Kerja yang membuat posisi negara semakin lemah, termasuk dalam pengelolaan energi. Semua UU sektoral yang menghambat investasi asing dipangkas dan diatur dalam UU sapu jagad ini.
Ia mengatakan bahwa salah satu kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintahan Jokowi adalah hilirisasi nikel melalui skema PSN (Proyek Strategis Nasional). Industri yang masuk dalam skema ini diberi banyak kemudahan, seperti perizinan-perizinan dan pengadaan tanah dalam skala luas untuk industri, serta bebas royalti. Hal ini sudah terjadi di Bantaeng, dengan beroperasinya smelter-smelter nikel yang dikuasai China di Kawasan Industri Bantaeng melalui skema investasi.
“Transisi energi ini sebaiknya tidak dilihat sebagai ‘business as usual’ atau barang dagangan semata, tetapi sebagai hak dasar … Jangan selalu kekayaan alam itu diperdagangkan,” tegas Dosen Antropologi UINAM tersebut.
Beberapa respon kemudian bermunculan dari mahasiswa dan mahasisiwi yang sebagian besar adalah Generasi Z. Mereka menyoroti bahaya dari PLTU Captive ini dan menunjukkan kekhawatiran atas apa yang akan diwariskan kepada mereka. Salah seorang mahasiswa, Dzakar Aulia, mengajukan sebuah saran dan tindakan-tindakan sederhana yang bisa dilakukan untuk menghadapinya.
“Kita ini generasi muda selalu ikuti apa yang trend, saya sebut kita ini generasi viral, apa yang viral itu kita ikuti lagi … Bagaimana kalau kita, saya tawarkan ke teman-teman yang ada di sini, bukan hanya bertukar pikiran di forum ini, bukan hanya lewat lisan saja, tapi kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari trend-trend positif tentang lingkungan lalu kita viralkan hal ini, di sosial media,” ungkapnya.
Pemuda jurusan Tafsir ini juga menyebutkan bahwa dalam agamanya, ia diajarkan jika manusia berbuat kerusakan di muka bumi, maka dampaknya itu akan kembali ke manusia, bahkan jika orang lain yang berbuat.
Salah satu mahasiswi asal Bantaeng, Auradita Citra, mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di Kawasan Industri Bantaeng, lokasi smelter-smelter nikel beroperasi, memang sangat berdampak pada lingkungan dan kehidupan warga sekitar, meski telah ada beberapa kompensasi-kompensasi, namun menurutnya itu belum sebanding dengan kerusakan yang ada. Kompensasi dilihatnya hanya sebagai pemanis dari oligarki untuk memuluskan kepentingannya.
Selain itu, Winda Wulandari, mahasiswa Kesmas UIN, menganggap jika Gen-Z itu adalah generasi yang peka terhadap persoalan sosial dan lingkungan, sehingga generasi ini sebenarnya punya potensi besar dan peranan penting sebagai agen perubahan dalam menghadapi krisis-krisis hari ini dan ketidakpastian ekonomi, sosial, dan lingkungan di masa mendatang.
***