Pada bagian kedua ini, saya akan melanjutkan kisah para patorani dalam tulisan Patorani di Bauluang: Sebuah Catatan Reflektif dari Lapangan (Bagian 1). Dalam tulisan ini, saya menjelaskan tiga hal. Pertama, penjelasan berpusat pada hal-hal yang bersifat teknis tentang bagaimana para patorani mengoperasikan rumpon. Kedua, penjelasan berfokus pada relasi kerja nelayan patorani dan terakhir ditutup dengan refleksi singkat tentang bagaimana melihat peran negara dalam membentuk dan langgengnya relasi kerja yang cenderung eksploitatif dalam kehidupan masyarakat pesisir.
Rumpon: Alat Penjaring Telur Ikan Terbang
Sewaktu di kampung, saya mendapati dua jenis pencari telur ikan terbang. Namun, dalam kosa kata warga tempatan, patorani hanya diasosiasikan pada pencari telur yang menggunakan rumpon. Sedangkan pencari telur yang tidak menggunakan alat tangkap rumpon disebut pa’anyuk-anyuk atau biasa juga disebut pa’tula. Sebagaimana ia disebut, pa’anyuk-anyuk (hanyut) atau pa’tula (menyusuri), adalah nelayan yang mencari telur ikan terbang dengan cara menyusuri perairan di tengah amukan ombak, lalu memanen telur ikan terbang yang menyangkut pada tumbuhan air dan sampah yang hanyut di permukaan (mengambang).
Nelayan patorani menggunakan rumpon yang mengapung di permukaan yang oleh masyarakat kampus (Universitas) disebut bubu hanyut. Berbentuk persegi dan terbuat dari daun kelapa yang diikatkan pada anyaman bambu. Rumpon tersebut akan diikat pada bentangan tali yang panjangnya ratusan hingga ribuan meter[1]. Dalam bentangan tali panjang itu berisi hingga 50 buah rumpon. Di sela-selanya, terdapat pemberat dan bendera pelampung disertai lampu. Pemberat digunakan pada tali agar tali tenggelam ke dasar perairan hingga kedalaman 15 depa, sehingga jauh lebih aman dari jangkauan baling-baling kapal yang lewat di atasnya. Sedangkan bendera pelampung bertujuan sebagai pemberi sinyal penanda keberadaan rumpon bagi pengguna laut lainnya.
Singkatnya, pemberat ataupun bendera pelampung pada dasarnya dimaksudkan untuk menghindari gangguan kapal-kapal yang juga beroperasi di tengah lautan.

Setelah berada di lokasi perburuan, rumpon akan ‘ditanam’ (dibentangkan). Rumpon akan diturunkan satu demi satu hingga selesai, itu dilakukan di tengah mesin yang terus menderu, membuat kapal terus melaju. Umumnya, proses pemasangan rumpon dilakukan pada pagi menjelang siang (sekitar pukul 10.00 wita) dan akan ditarik pada esok pagi (sekitar pukul 07.00 wita). Kadang panen rumpon lebih cepat dilakukan, saat dini hari (pukul 02.00-03.00 wita). Perbedaan waktu tersebut, tergantung pada kebiasaan dan pengalaman para pencari, serta arahan dari sang nakhoda, pemimpin kapal yang diakui oleh para kru memiliki kecakapan dalam berburu telur ikan terbang.
Selama rumpon dibentangkan, perahu akan dibiarkan hanyut terbawa arus. Tempo atau kecepatan arus juga akan menentukan berapa jangkar (pemberat yang terbuat dari semen dengan berat 10-15 kg) yang harus diturunkan dari kapal agar laju hanyut kapal sedikit melambat melawan kekuatan arus. Seperti dalam ungkapan salah seorang kru kapal patorani “Kalau kencang arus, biasa kita (kami) kasi turun sampai tiga jangkar. Kalau arusnya lambat, satu saja sudah cukup”.
Saat rumpon selesai dipasang, para pencari akan menunggu penuh harap agar si ikan terbang meletakkan telurnya di sana. Rumpon menjelma layaknya sebuah pukat yang akan menangkap kumpulan butiran-butiran telur ikan (berbentuk seperti gumpalan yang saling terikat satu sama lain dengan jaringan bening yang menyerupai benang-benang tipis). Saat melaut, para pencari selalu membawa persediaan rumpon cadangan agar lebih efisien dalam berburu.
“Itu kalau melaut ki, bawa ki juga rumpon cadangan. Kalau ada telur yang didapat, langsung saja di ganti. Biar tidak lama toh, tidak perlu dibersihkan lagi baru diturunkan (pasang) kembali” ucap si patorani kembali menerangkan kepada saya bagaimana ia dan para patorani lainnya mengoperasikan rumpon, alat tangkap termashyur untuk mengumpulkan telur ikan terbang pada abad ini.
Relasi Kerja dalam Produksi Patorani: Siapa yang Diuntungkan?
Pada siang yang lain, salah seorang nelayan patorani menghampiri saya yang tengah duduk di bawah kolong rumah. Di Bauluang, kolong rumah adalah tempat yang paling adem. Namun, kedatangan si patorani bagai angin yang tak kalah segarnya. Ini kejutan yang tak terduga, setelah sebelumnya kesulitan mencari waktu untuk mengobrol dengan nelayan karena kesibukannya. Lelaki yang ada di depan saya ini adalah patorani yang ulung. Ia sudah menjelajahi lautan dari selat Makassar, perairan Kalimantan, hingga Papua. Seperti ungkapan nasihat lama “kesempatan tidak datang dua kali”, saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Kami mengobrol lama. Saat saya bertanya, ia tampak memiliki segudang jawaban atas pertanyaan yang saya lontarkan. ia menjawab semuanya. Ia membagi banyak hal tentang patorani pada saya. Dari obrolan itu, saya perlahan mulai paham mengapa atorani (mencari telur ikan terbang) hanya dilakukan oleh orang-orang yang punya sumber daya modal ekonomi yang kuat. Untuk memulai usaha ini, seseorang harus menyediakan uang ratusan juta (minimal 250 juta)—sebagai modal awal yang untuk membeli kapal, mesin, rumpon atau balla-balla, dan modal untuk melaut. Sedangkan mereka yang tak memenuhi kategori tersebut, seperti halnya nelayan yang ada di hadapan saya ini, hanya terlibat sebagai buruh—orang yang bekerja sebagai anak buah kapal mencari telur ikan terbang.
Kembali pada sub tema ini, guna menjawab siapa yang diuntungkan—mau tidak mau analisa terhadap relasi kerja harus dilakukan. Saya meminjam empat pertanyaan kunci dari Bernstein (2019): Siapa yang memiliki apa? Siapa yang melakukan apa? Siapa mendapatkan apa? Dan digunakan untuk apa dari apa yang ia dapatkan. Melalui empat pertanyaan tersebut, saya mengorganisir data dari catatan lapang dan menuliskannya di sini untuk menjelaskan relasi kerja nelayan patorani. Dengan begitu, jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan (siapa yang diuntungkan?) sedapatnya mendapat titik terang.
Setidaknya ada tiga pihak yang berkepentingan dalam usaha perburuan telur ikan terbang, di antaranya pemilik kapal, papalele atau pengepul, dan kru kapal yang terdiri dari nahkoda kapal dan anak buah kapal. Pemilik kapal adalah orang yang memiliki kapal beserta seluruh perangkat alat yang dibutuhkan dalam melaut (seperti mesin, GPS, Fish Finder, dan rumpon atau balla-balla). Sedangkan papalele atau pemberi modal biasanya adalah para pengepul telur ikan terbang yang memberikan modal perongkosan kepada pemilik kapal untuk diinvestasikan dalam proses produksi. Namun, dalam beberapa kasus tertentu, penyedia modal kerap dilakukan oleh pemilik kapal sendiri dan juga bertindak sebagai pembeli telur ikan terbang (semacam tengkulak).
Sedangkan para kru kapal adalah mereka yang tidak memiliki alat produksi atau pun modal sama sekali. Mereka ini dikategorikan menjadi dua: nahkoda kapal dan anak buah kapal (ABK). Nahkoda kapal dalam istilah setempat biasanya disebut pinggawa kapal. Kepiawaian dan kecakapan melaut, terutama dalam hal navigasi, pembacaan cuaca, dan memiliki pengetahuan dalam melaksanakan ritual tertentu yang dibutuhkan sebelum melaut, serta pengalaman adalah variabel penting yang menjelaskan perbedaannya dengan para ABK. ABK sendiri merupakan para pekerja fisik yang memiliki pengetahuan dan pengalaman namun cukup terbatas.
Ketiga pihak tersebut, beserta pengaruhnya dalam setiap aktivitas perburuan (akses terhadap kepemilikan alat produksi dan modal)—turut menentukan pembagian kerja dalam proses produksi—terkait apa saja yang dikerjakan oleh siapa. Pemilik kapal dan papalele (pemodal) tidak terlibat sama sekali dalam seluruh proses produksi selama pencarian telur ikan terbang. Si pemilik kapal hanya menyediakan kapal dan mencari akses permodalan ke papalele untuk modal perburuan (jika si pemilik kapal tidak memiliki modal sendiri). Selain permodalan untuk ongkos produksi (bahan bakar dan konsumsi), si pemilik kapal juga akan memberikan uang panjar kepada para kru (kelas pekerja) sebagai bentuk jaminan pemenuhan kebutuhan bagi para keluarga mereka selama melaut. Sedangkan si papalele sendiri hanya bertindak sebagai pemberi modal untuk dimasukkan dalam satu putaran produksi untuk meraup keuntungan. Keduanya hanya berada di darat dan menunggu pinggawa beserta ABK datang membawa hasil selama melaut.
Ketika kedua pihak yang disebut sebelumnya (pemilik kapal dan papalele) berada di darat dan menunggu hasil buruan, para kru kapal yang terdiri dari nahkoda dan ABK berada di tengah lautan, mengadu nasib pada lipatan ombak, dan berharap kembali dengan selamat. Sebelum memulai pencarian, mereka (pekerja) juga lah yang melakukan persiapan untuk memperbaiki kapal yang akan digunakan seperti menambal lubang-lubang bocor pada kapal, mengecat, dan mengurus segala urusan permesinan. Saat di laut, sang nahkoda kapal berperan dalam mengarahkan arah pelayaran, menentukan wilayah tangkap, dan membuat keputusan: kapan dan harus menangkap di mana. Selain itu, ia juga merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan para pekerja ABK selama di laut. Karena itu, seorang nahkoda harus memiliki kepekaan dan pengetahuan tentang laut dan hal-hal yang bersifat supranatural (mistik).
Dari sisi para ABK, mereka juga memiliki spesialisasi tersendiri. Ada yang bertugas sebagai tukang masak, mengurus mesin (mekanik), dan ada yang bertugas mengoperasikan rumpon. Kendati demikian, spesialisasi kerja yang diterapkan oleh nelayan Bauluang belum terlalu tegas dan dapat dikategorikan sebagai semi-profesional. Menurut ABK yang kami temui, pembagian kerja antar ABK selama melaut masih sangat longgar karena perekrutan masih dalam ikatan kekerabatan.
“Meskipun masing-masing punya tanggung jawab, tapi tetap saling bantu. Misalnya, yang tugas masak bisa ganti-gantian. Sama halnya mengoperasikan rumpon untuk menangkap telur ikan, semua bisa terlibat bekerja, termasuk pinggawa atau kapten kapal” tegas salah seorang ABK kepada saya.
Di Bauluang, pembagian hasil kerja masih dilakukan dengan skema “bagi hasil”. Sebagaimana masyarakat pesisir pada umumnya, sistem bagi hasil masih menjadi model pengupahan yang banyak dianut, jika bukan satu-satunya. Bagi hasil, umumnya akan dilakukan berdasarkan kesepakatan para patorani dengan pemilik kapal. Ada yang melakukan bagi hasil selepas trip pertama, ada juga yang membagi hasil setelah musim torani berakhir. Sebagai gambaran untuk skema kedua, misalnya dalam satu musim terdapat dua kali trip, maka pembagian hasil baru dilakukan setelah trip kedua dilakukan.
Pembagian hasil juga akan berbeda-beda tiap orang, bergantung pada peran dan kepemilikan alat dan modal untuk melaut. Setelah hasil tangkapan dijual, masih pendapatan kotor (belum keluar ongkos), akan dikeluarkan 10-15 % dari hasil penjualan. Persenan tersebut diperuntukkan kepada pemilik kapal dan pemodal. Dalam kasus tertentu, jika modal diperoleh dari papalele, artinya pemilik kapal harus membagi ½ (setengah) dari persenan yang dikeluarkan tersebut, misalnya, jika 10% yang dikeluarkan, maka 5% untuk pemilik kapal dan 5% untuk pemodal.
Setelah persenan untuk modal dikeluarkan, hasil pendapatan kotor kemudian dikurangi ongkos selama melaut untuk mendapatkan angka pendapatan bersih. Kemudian, pendapatan bersih tersebut akan dibagi lagi, masing-masing di antaranya: 2 bagian untuk pemilik kapal, 2 bagian untuk nahkoda, dan 1 bagian untuk masing-masing ABK. Sebagai contoh: jika pendapatan bersih berjumlah 80 juta, maka akan dibagi 8 (jika diasumsikan ada 4 orang ABK). Dan rinciannya adalah 20 juta untuk pemilik kapal, 20 juta untuk nakhoda, dan 10 juta untuk masing-masing ABK. Meskipun bagian yang didapatkan oleh pemilik kapal dengan nakhoda atau pemimpin kapal sama-sama 2 bagian, tetapi perlu diingat bahwa pemilik kapal telah mengantongi persenan (10-15%) dari hasil penjualan kotor (belum keluar ongkos) yang jumlahnya—tentu saja jauh lebih besar.
Aturan semacam ini membuat posisi nakhoda dan ABK memperoleh bagian yang lebih kecil. Di sisi yang lain, pemilik kapal dan pemodal mendapat bagian yang lebih besar, meski ia tidak mengerahkan tenaganya dalam proses produksi. Sistem bagi hasil ini cenderung lebih menguntungkan pemilik kapal dan pemodal, sedangkan para patorani (nelayan) adalah kelompok yang dieksploitasi.

Sebagaimana angin yang tak selalu membawa ombak. Begitu halnya dengan patorani, tidak selalu dapat hasil yang memuaskan. Dalam situasi semacam ini, nasib nelayan pekerja menjadi sangat rentan. Jika hasil tangkapan tidak dapat menutupi biaya produksi yang dikeluarkan oleh si pemilik kapal, maka kekurangan tersebut menjadi tanggungan nakhoda dan kru-nya. Sisa tersebut akan dicatat sebagai utang oleh pemilik kapal. Dan sebagaimana relasi sosial yang umum di masyarakat pesisir, utang bukan sebatas pinjaman semata. Berutang berarti terikat, dan itu harus dibayar pada trip selanjutnya. Begitulah cara para pemilik kapal mengikat para patorani dengan utang, agar mereka tetap bekerja, mengumpulkan telur ikan terbang, dan membawa keuntungan bagi pemilik kapal. Singkatnya, utang kerap menjadi cara yang ampuh agar akumulasi keuntungan dapat tetap berlanjut.
Terkait dengan penggunaan hasil yang didapatkan (pendapatan), para ABK menggunakan bagian (pendapatan) mereka untuk mereproduksi diri secara sosial (dan keluarga) seperti membelanjakan untuk kebutuhan konsumsi, membayar pendidikan anak, dan bekal tabungan untuk kebutuhan-kebutuhan yang tak terduga (biaya pendidikan dan kesehatan). Sedangkan untuk pemilik kapal dan pemodal, meski informasi tersebut tidak penulis peroleh langsung dari si pemilik kapal karena ia tinggal di darat. Tetapi, dari tuturan warga setempat, para pemilik kapal cenderung menggunakan keuntungan yang diperoleh untuk modal, diputar kembali dalam proses produksi, yang tidak selalu untuk modal mencari ikan terbang, tetapi juga untuk modal yang akan digunakan untuk berdagang ikan hingga ke pulau-pulau nan jauh, seperti di perairan Pangkep dan Kalimantan.
Pada titik ini kita dapat belajar: tidak semua orang yang terlibat dalam mencari telur ikan terbang adalah mereka yang memiliki kontrol atas kapal yang mereka tunggangi, kontrol atas rumpon (alat tangkap) yang mereka operasikan, dan kontrol atas hasil (telur ikan terbang) yang mereka peroleh—sepenuhnya menjadi milik mereka yang mencurahkan keringat.
Dimana Peran Negara?
Uraian di atas sebetulnya menyingkap satu bentuk relasi kerja yang eksploitatif. Nelayan, khususnya sawi (ABK) sebagai satu kelas yang mengalami penghisapan yang kadang kala dinormalisasi. Di samping itu, cerita tersebut juga menunjukkan pentingnya melihat posisi kelas dalam relasi-relasi produksi yang terjadi di masyarakat pesisir. Kajian seperti itu sudah dilakukan sejak lama, namun semakin terpinggirkan hingga saat ini—dan kerap tidak dianggap penting oleh sebahagian pengamat atau peneliti-peneliti yang berkutat pada isu masyarakat pesisir.
Salah satu contoh yang paling fenomenal yang mengkaji persoalan relasi kelas dalam masyarakat pesisir dilakukan oleh D.N Aidit (1964)[2]. Aidit menunjukkan secara jelas kelas-kelas penghisap dan bentuk-bentuk penghisapannya. Menurutnya, di daerah-daerah pantai, kaum nelayan pekerja mengalami penghisapan yang bersifat feodal dari juragan perahu atau tuan nelayan. Dan di saat yang sama ia juga mengatakan bahwa belum ada undang-undang yang mengatur pembagian hasil secara adil bagi kaum nelayan. Sehingga, peraturan-peraturan yang berlaku dalam praktik adalah sangat rumit dan memberi kesempatan manipulasi yang besar bagi tuan nelayan.[3]
Riset tersebut dilakukan di Jawa yang berlangsung selama 7 minggu, mulai tanggal 2 Februari sampai dengan 23 Maret 1964.[4] Saat itu, memang belum ada aturan yang mengatur persoalan bagi hasil. Barulah ada UU yang mengatur bagi hasil nelayan beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 23 September tahun 1964 dengan ditetapkan dan diundangkannya UU No. 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.[5] Hal yang paling disayangkan adalah, negara tampak tidak pernah hadir dalam menyelesaikan persoalan mendasar yang sampai saat ini masih menggerogoti kaum nelayan (pekerja) dan menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan yang nyata: relasi kerja yang eksploitatif.
Meskipun dengan dikeluarkannya UU No. 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan (hanya berselang empat tahun dari umur UUPA 1960) yang mulanya bagaikan angin segar yang akan mengangkat derajat nelayan buruh atau penggarap ternyata tidak demikian. Sebagai contoh, seperti yang diatur dalam pasal 3, persentase pembagian di perikanan laut dibedakan berdasarkan penggunaan perahu layar atau kapal motor. Perahu layar: minimum 75% dari hasil bersih dan perahu motor minimum 40% dari hasil bersih untuk nelayan penggarap.[6]
Menurut Yonvitner (2014) UU BHP No. 16 Tahun 1964 dinilai tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan nelayan kecil (ABK ). UU tersebut tidak mampu memberikan rasa keadilan atas hasil tangkapan, termasuk kesejahteraan nelayan. Menurut hemat penulis, boleh jadi juga dikarenakan dalam usaha produksi nelayan—biasanya melibatkan banyak nelayan pekerja sehingga porsi 40% (untuk perahu motor) menjadi lebih kecil setelah dibagi ke semua nelayan pekerja (penggarap) yang terlibat dalam proses produksi.
Sementara itu, beberapa tahun setelah diterbitkannya, wacana mengenai UU BHP mulai redup pada masa orde baru. Akibatnya semua keputusan terkait bagi hasil diserahkan secara tidak langsung oleh aturan yang dianut di tingkat lokal. Celakanya, ini menguntungkan elit-elit di tingkat lokal yang berpengaruh secara ekonomi dan politik di kampung.
Selain itu, beberapa akademisi dan peneliti isu masyarakat pesisir seperti Andi Adri Arief[7], menyiratkan bahwa relasi kuasa (kelas) yang timpang—sebagai penyebab utama menguatnya eksploitasi dalam relasi kerja nelayan—juga disebabkan oleh negara, utamanya saat modernisasi perikanan dilakukan. Pada tahun 1970, negara mengintervensi cara hidup masyarakat pesisir agar produktivitas perikanan meningkat melalui program modernisasi perikanan. Nelayan yang umumnya menggunakan perahu layar diubah menjadi perahu motor tempel. Menurutnya, setelah program itu berjalan, relasi kerja dalam unit produksi nelayan juga menjadi semakin tegas dan eksploitatif—dikarenakan relasi atas kepemilikan alat produksi, utamanya yang menggunakan perahu motor tempel. Secara bersamaan intervensi pasar melalui komoditas ekspor semakin mempertajam relasi yang ada dan semakin terkapitalisasi.
Dengan demikian, eksploitasi yang dialami oleh nelayan, khususnya nelayan patorani di Bauluang tidak terlepas dari bagaimana negara bersikap hari ini, apakah berdiri di pihak nelayan buruh (ABK) atau justru tampak mengabaikan diferensiasi kelas dan relasi kelas di desa pesisir. Sejauh ini, negara berada di posisi yang terakhir disebut.
***
Catatan kaki:
[1] Menurut tuturan setempat, panjang rumpon bisa mencapai 2000 m. Selain itu, tali dasar yang digunakan memiliki ukuran berbeda—yang besar-kecilnya ukuran tali mengikut pada jarak pada kapal. Semakin jauh jarak rumpon, semakin kecil ukuran talinya. ¾ yang diukur dari jung tali rumpon terjauh mendekat pada posisi kapal akan menggunakan tali ukuran no. 8, sedangkan sisanya (¼) menggunakan tali ukuran no. 12. [2] D.N. Aidit (1964). Kaum Tani Menggayang Setan-setan Desa. Lihat https://www.marxists.org/indonesia/indones/1964-AiditSetanDesa.htm [3] Dalam risetnya, D. N. Aidit menunjukkan satu contoh kasus Di Kecamatan Eretan Wetan misalnya, jika hasil penangkapan ikan dari satu perahu berharga Rp. 10.000, - maka seorang buruh nelayan hanya mendapat Rp. 289,20 yang belum dipotong ongkos untuk makan di perahu. Jadi bagian seorang buruh nelayan itu belum sampai 3 % dari hasil seluruhnya. Sedangkan bagian juragan atau tuan nelayan walaupun resminya berjumlah kurang lebih 15 %, tetapi pada hakikatnya berjumlah kurang lebih 40 % dari seluruh hasil, karena berbagai potongan seperti cicilan hutang kepada juragan (10 %, dengan tidak peduli buruh nelayan itu mempunyai hutang kepada juragan atau tidak) dan macam-macam “celengan” serta simpanan wajib (12 %) yang dalam praktiknya masuk kantong juragan. [4] Lihat https://www.marxists.org/indonesia/indones/1964-AiditSetanDesa.htm [5]Lihat https://www.regulasip.id/book/10850/read#:~:text=UNDANG%2DUNDANG%20REPUBLIK%20INDONESIA%20NOMOR%2016%20TAHUN%201964%20TENTANG%20BAGI%20HASIL%20PERIKANAN [6] Yonvitner (2014). REKONSTRUKSI UU SISTEM BAGI HASIL PERIKANAN PRO NELAYAN KECIL. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 3, Desember 2014: 192-196 ISSN : 2355-6226 [7] Andi Adri Arief. Artikulasi Modernisasi dan Dinamika Formasi Sosial Nelayan Kepulauan Di Sulawesi Selatan (Studi Kasus Pulau Kambuno Kabupaten Sinjai). Lihat https://www.scribd.com/doc/13135969/Dr-Andi-Adri-Arief-ARTIKULASI-MODERNISASI-PERIKANAN