Kelompok perempuan penggerak untuk perubahan “Passe’reanta”, bersama pegiat Cita Tanah Mahardika melakukan suatu lokakarya selama tiga hari di Pulau Satangnga pada tanggal 11-13 September 2024. Proses belajar bersama ini dilaksanakan untuk tiga tujuan utama, yaitu: (1) Membangun jalan perubahan, (2) Mengurai masalah-masalah di kampung untuk menyusun visi dan misi organisasi, dan (3) Menyusun rencana kerja komunitas untuk 3 bulan ke depan. Tulisan ini tidak untuk mengulas semua proses lokakarya, tapi akan fokus pada satu tahapan yang menurut saya cukup penting untuk diceritakan.
Pada hari pertama, dalam sesi belajar “membangun jalan perubahan”, fasilitator mengawalinya dengan menampilkan kode berupa gambar “ulat berubah menjadi kupu-kupu”. Kode ini menjadi langkah pertama untuk mengulas dan mengenali bagaimana perubahan itu terjadi dan bagaimana sesuatu menjadi bentuk baru dan berbeda.
Ulat itu awalnya punya kesempatan memakan daun sebanyak-banyaknya hingga menjadi cukup besar sebelum beristirahat dalam cangkang kepompong yang melilitnya, fase dimana ulat akan tidur cukup lama sekaligus tidak makan di dalamnya. Di dalam kepompong ulat akan membentuk tubuh yang baru dengan menghancurkan bentuk tubuhnya yang lama. Setelah kepompongnya mengering, keluarlah kupu-kupu muda yang perlahan mencoba melebarkan sayapnya hingga akhirnya bisa terbang sebagai kupu-kupu yang indah.
Perubahan dari ulat ke kupu-kupu ternyata tidak hanya terjadi pada bentuk fisiknya, tapi juga dengan cara ia makan dan jenis makanannya – dari daun menjadi serbuk sari bunga. Pelajarannya adalah perubahan atau transformasi apapun itu—seperti ulat ke kupu-kupu tadi—merupakan proses yang mungkin akan memakan waktu dan itu bisa sangat menyakitkan.
Pada hari kedua, fasilitator mengajak peserta untuk mengenali permasalahan yang umumnya dialami oleh warga di Pulau Satangnga dan apa yang akan terjadi ketika masalah itu tidak diselesaikan atau bagaimana itu akan berdampak. Setelah mengenali dampak, ibu-ibu kemudian mencoba menuliskan mimpi dan cita-cita mereka, serta pandangan tentang Pulau Satangnga ke depannya akan seperti apa. Berangkat dari analisa masalah dan mimpi-mimpi mereka sendiri, proses lalu dilanjutkan dengan mendiskusikan dan menyusun kembali visi dan misi komunitas.
Setelah visi dan misi tersusun, untuk menebalkan imajinasi peserta, maka perlu ditopang oleh suatu praktik nyata agar ada inspirasi. Dari situ proses ini dilanjutkan dengan menonton dua film dokumenter dengan judul “Pahlawan Lingkungan; Penanaman Mangrove yang Lindungi Pulau Simeulue Paska Tsunami Aceh” yang diproduksi oleh channel youtube DW Indonesia pada tahun 2024. Film kedua berjudul “Perempuan Hebat: Pulauku Nol Sampah” yang dirilis channel youtube Eagle Awards pada 2021 silam.
Saya akan berbagi cerita tentang pengalaman nonton bersama dua film dokumenter tersebut. Tentang bagaimana mereka merefleksikan, dan bagaimana setiap penggerak Passe’reanta merasakan apa yang dialami oleh para penggerak perubahan dalam menghadapi tantangan demi mewujudkan harapan dan cita-cita mereka.
Sedikit cerita dari dua karya dokumenter yang diputar
Film ini berkisah tentang seorang yang bernama Suhermiadi yang akrab dipanggil dengan nama Bitel, seorang pejuang lingkungan yang berasal dari Pulau Simeulue. Film yang berdurasi 3,54 menit ini menceritakan perjuangannya, seorang nelayan berumur 58 tahun yang memiliki dua belas anak dan mempunyai pendapatan sekitar seratus ribu rupiah per hari. Dalam satu hari ia meluangkan waktunya tiga jam untuk menanam bakau, ini dilakukannya setiap hari.
Pada tahun 2017, Suhermiadi bersama dengan Komunitas Peduli Laut Simeulue menginisiasi penanaman 5.000 pohon bakau untuk menghijaukan sekitar pesisir Pulau Simeulue yang rusak pasca tsunami Aceh tahun 2004 silam. Peristiwa yang juga berdampak pada rusaknya karang dan bakau di sekitar tempat ia tinggal. Selama enam tahun ia melakukan penanaman dan berhasil menghijaukan dua puluh hektar daerah pesisir Simeulue. Bukan sekadar menanam, Suhermiadi juga merawat bakau dengan membersihkan sampah-sampah plastik yang tersangkut.
Meskipun ia telah berhasil, yang efeknya bahkan dirasakan oleh setiap orang di Pulau Simeulue, keberhasilan itu tampaknya bukan hal yang mudah diraih. Dia menghadapi beragam tantangan, salah satunya adalah modal. Dalam mengumpulkan bibit-bibit bakau itu ia harus menggunakan modalnya sendiri untuk membeli kantong atau polybag, namun karena mahal ia kemudian beralih pada sabuk kelapa, gelas plastik, dan pelepah rumbia sebagai wadah untuk pembibitan.

Tidak ada modal, bukan satu-satunya tantangan yang dihadapinya, orang-orang di sekitarnya dulu tidak mendukung apa yang dilakukan Suhermiadi. Usahanya tersebut mendapatkan respon kurang baik, tetangga-tetangganya malah menganggapnya gila, karena pohon bakau dianggap menyebabkan banyak nyamuk. Mereka bahkan tidak segan-segan untuk mencabut bibit bakau yang telah ditanamnya. Namun hal itu tidak menurunkan semangatnya.
“Kalau mereka cabut, saya tanam lagi,” ucapnya”.
Film kedua kemudian diputar, “Perempuan Hebat: Pulauku Nol sampah”. Film ini menceritakan tentang Maharia, seorang guru madrasah di Kepulauan Seribu yang mendorong Gerakan Rumah Hijau, Pulauku Nol Sampah. Berangkat dari keresahannya melihat pesisir pulau yang dipenuhi sampah plastik, ia lalu menginisiasi dan memberikan visi lingkungan kepada ibu-ibu untuk mengolah sampah menjadi kerajinan. Ia mengajak mereka untuk memanfaatkan sampah rumahan, gerakan itu ia mulai dengan belajar memilah-memisahkan sampah dan menanam sayuran di pekarangan rumah.
Mereka memilah sampah rumahan lalu dikekola di rumah sendiri atau membawanya langsung ke Bank Sampah Rumah Hijau. Buat ibu-ibu yang belum memiliki kreatifitas mengolah sampah menjadi kerajinan, mereka dapat belajar lalu mengambil bahan-bahan yang tersedia untuk proses belajar di rumahnya masing-masing. Kenapa di rumah masing-masing? Karena mereka tidak mau membangun pabrik dan meninggalkan peran sebagai seorang ibu rumah tangga. Kelompok Gerakan Rumah Hijau ini berharap mereka dapat mengelola sampah rumahan agar anak-anak dan semua tetangga dapat melihat bahwa sampah rumahan ternyata bisa diolah sekaligus menjadi barang yang memiliki nilai.

Namun, bagi Maharia, tindakan ini tidak mudah. Pertama kali ia mengajak ibu-ibu untuk terlibat di gerakan ini, mereka bertanya: Apa yang bisa didapatkan? Orang-orang yang diajaknya langsung membahas tentang perut. Maharia memutuskan sedikit menunda membahas perihal lingkungan, ia lantas berupaya untuk mencari-cari cara meningkatkan pendapatan tambahan. Alasannya adalah peningkatan perekonomian rumah tangga itu isu yang paling dekat. Dari sana ia pelan-pelan mulai mengajak memikirkan lingkungan.
Refleksi dari para penggerak Passe’reanta
Setelah kami menonton film yang berdurasi sekitar beberapa menit, kami kemudian melanjutkan sesi ini dengan refleksi bersama. Sesi ini dimulai dengan pertanyaan sederhana: Apa yang dapat dipelajari? dan apa yang dirasakan?
Daeng Lele, sebagai anggota baru dalam Passe’reanta, mencoba merefleksikan dua film tersebut. Ia menunjukkan perasaannya dan apresiasi atas pencapaian yang telah dilakukan oleh dua orang penggerak dan pejuang lingkungan yang baru saja ditontonnya.
“Saya kagum dan bangga karena ada keberhasilan, dan dapat meningkatkan penghasilan,” ungkap Daeng Lele.
Sementara itu, Daeng Sugi, ketua Passe’reanta menganggap keyakinan dan usaha-usaha yang dilakukan para pejuang lingkungan ini bukanlah hal mudah karena harus melalui banyak tantangan.
“Meskipun ia dibilangi gila, terus ia kerjakan, karena hal itu yang menurutnya baik, sebab kepercayaan tentang apa yang menurutnya baik sehingga ia terus melakukanya, dimana ketika ia mendengar perkataan orang lain mungkin sudah ia tinggalkan, begitupun yang saya rasakan sebagai ketua, kita harus sabar menghadapi, sama ketika selalu melakukan hal-hal yang baik seperti menanam Mangrove, biar sebagian masyarakat datang untuk mencabut mangrove itu, kita tidak akan putus asa dengan kerja-kerja itu, kita yang melakukan dan yang merasakan banyak orang,” ungkap Daeng Sugi.
Senada dengan Daeng Sugi, Daeng Caya dalam refleksinya mengungkapkan bahwa saat menonton film tersebut, ia merasa terharu, sebab ada usaha-usaha yang dilakukan sebelum mendapatkan hasil dari proses penanaman mangrove itu, belum lagi harus menghadapi tantangan-tantangannya yang berat. Beberapa penggerak Passe’reanta yang lain merasa bangga dengan sosok Suhermiadi. Daeng Jinne, misalnya, ia terlihat salut dengan kegigihan dan tekad pria yang disapa Bitel itu.
“Meskipun ada orang yang selalu mencabut pohon mangrove yang ia tanam, ia tidak pernah merasa untuk menyerah, sehingga dengan tekad itu ia mendapatkan keberhasilan,” tutur Daeng Jinne.

Daeng Lebang melihatnya sebagai perjuangan panjang yang akhirnya bisa menginspirasi, mengubah pandangan, dan bahkan sikap orang lain. Bukan hanya pada Suhermiadi, tapi juga lingkungannya sendiri.
“Yang dilakukan Suhermiadi, betul-betul adalah usaha yang panjang, sekalipun ada orang yang mencabutnya, ia datang untuk menanamnya kembali, sampai lama-kelamaan orang lain itu akan datang untuk menanam juga,” tambah Daeng Lebang.
Sementara itu, Daeng Tika sebagai ketua kelompok Pokmasawas Jagad Samudera, merasa jika hal serupa pernah dirasakannya juga.
“Banyak rintangan yang kita hadapi, bukan hanya orang dari luar, tetapi juga orang di dalam, … Pohon mangrove kita harus jaga dan merawatnya, tetapi ada juga beberapa tantangan yang kita hadapi adalah sampah. Kalau yang saya tangkap dari film kedua saya salut karena sampah diolah menjadi kerajinan.”
Di kesempatan yang sama, Daeng Baeng, salah seorang anggota muda Passe’reanta, berkeinginan untuk mengikuti jejak langkah para pejuang-pejuang lingkungan di film itu.
“Ingin juga menanam pohon mangrove,” ungkapnya.
Passe’reanta, pelan-pelan memperluas isu: dari ekonomi ke perubahan untuk kampung
Setelah menonton dua film tersebut dan mendengarkan refleksi dari para perempuan penggerak Passe’reanta, saya mempelajari bahwa memang menuju perubahan tidaklah mudah. Perubahan itu bisa jadi memang akan disertai rasa sakit dan prosesnya memakan waktu tak sebentar.
Passe’reanta sebagai kelompok perempuan sejauh ini fokus memproduksi produk skala rumahan seperti VCO, salonde, kripik sukun dan kripik kelapa. Pada awalnya ide produksi ini berangkat dari banyak kekhawatiran terhadap pendapatan rumah tangga yang kian susut. Meskipun usaha-usaha ini belum bisa memenuhi sebagian besar kebutuhan rumah tangga mereka, mereka tetap konsisten melakukan kerja-kerja produksi yang mereka rumuskan, putuskan, dan pelajari sendiri.
Setelah melalui banyak pembahasan tema-tema belajar dalam mendukung produksi mereka yang panjang, lokakarya kali ini berangkat dari masalah-masalah dan kekhawatiran mereka terhadap kampung. Dari situ mereka akhirnya secara partisipatif dapat menyusun visi dan misi bersama yang mencakup cita-cita dan langkah mereka dalam mewujudkan perubahan, baik dari diri sendiri, keluarga dan kampung yang mereka tinggali.
Selain belajar memahami tantangan yang dihadapi dua penggerak dalam film yang telah diputar, itu juga menjadi pemantik para penggerak Passe’reanta yang awalnya fokus pada proses produksi, pelan-pelan membuka ruang belajar dan peluang menuju perubahan yang lebih dari sekadar urusan produksi. Paling tidak bisa mulai dari membicarakan dan memproses masalah-masalah yang tampak di kampung seperti kerusakan lingkungan.
Visi perubahan itu mungkin tidak bisa diwujudkan dalam waktu yang sebentar, namun saya mengingat apa yang dikatakan oleh Dian Yanuardy saat menemani rangkaian belajar tersebut, “Untuk menuju pada perubahan, harus dilakukan secara pelan-pelan.”
Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan mengutip sebuah ungkapan Mandlenkosi Zwane[1], “Ketika kita berurusan dengan realitas yang membosankan, dunia manusia, perlu diingat bahwa kita sedang berurusan dengan hal-hal yang luar biasa.”
***
[1] Dikutip dari laporan lokakarya IMBIZA tentang Gereja dan Keadilan Sosial (1979) yang dikutip pada modul belajar Training for Transformation (TFT) Vol. I yang disusun oleh Anne Hope dan Sally Timmel yang dirilis pertama kali pada 1984 dan mulai dicetak ulang lagi pada 1996 silam.